RAJA AMPAT, PBD – Suara lantang menggema dari Kampung Selpele, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat.
Suku Kawei, salah satu masyarakat adat yang mendiami wilayah tersebut, menyatakan penolakan keras terhadap keberadaan organisasi lingkungan internasional Greenpeace.
Dalam rilis tertulis yang diterima redaksi sorongnews, Sabtu (27/9/25) Masyarakat adat menuduh Greenpeace mengganggu kedaulatan adat dan memblokir akses mereka terhadap kesejahteraan yang tengah dibangun lewat tambang nikel milik PT Kawei Sejahtera Mining (KSM).
Spanduk besar bertuliskan “Save Masa Depan Suku Kawei, Tolak Greenpeace dan Antek-anteknya di seluruh hak ulayat Suku Kawei” kini terpasang di Pulau Wayag yang menjadi ikon pariwisata Raja Ampat hingga berbagai titik strategis lainnya.
Langkah ini menjadi simbol penolakan terang-terangan masyarakat terhadap aktivitas Greenpeace yang dianggap mengintervensi wilayah adat mereka.
Penolakan ini bukan yang pertama, namun intensitasnya kini meningkat tajam. Empat marga besar Suku Kawei yakni Daat, Ayelo, Arempele, dan Ayei menyatakan sikap bersatu melawan apa yang mereka sebut sebagai “propaganda keji” dari Greenpeace.
“Mereka datang secara diam-diam seperti maling, tanpa permisi kepada kami sebagai pemilik hak ulayat yang sah,” tegas Yustus Ayei, tokoh adat Kawei, saat orasi di depan ratusan warga yang hadir.
Tokoh perempuan adat, Dina Ayelo turut angkat suara menolak narasi Greenpeace yang menyebut aktivitas tambang mengancam konservasi.
“Apa yang dilakukan Greenpeace penuh propaganda. Kami sudah sejahtera dengan apa yang ada sekarang. Greenpeace jangan coba-coba masuk ke tanah ulayat kami,” tegasnya.
Sementara itu, tokoh pemuda adat, Luther Ayelo dengan lantang mengecam organisasi tersebut. Sebagai bentuk protes, ia memimpin aksi penutupan Pulau Wayag setelah pemerintah pusat mencabut izin operasi tambang PT KSM.
“Karena perusahaan kami ditutup, maka Pulau Wayag juga kami tutup,” imbuhnya.
Manajemen PT Kawei Sejahtera Mining merespons kontroversi ini dengan membeberkan sejumlah data dan dokumen yang mereka klaim menunjukkan legalitas dan tanggung jawab perusahaan.
1. Dasar Legal Tata Ruang
PT KSM menyatakan bahwa Pulau Kawei memang diperuntukkan sebagai kawasan pertambangan berdasarkan:
* Perda Provinsi Papua Barat No. 3 Tahun 2022 tentang RTRW 2022–2041
* Perda Raja Ampat No. 3 Tahun 2012 tentang RTRW 2011–2030
2. Izin dari Lima Kementerian
Perusahaan mengantongi izin dari lima kementerian terkait:
* ESDM: SK IUP, RKAB 2024–2026, studi kelayakan, jaminan reklamasi.
* KLHK: Persetujuan AMDAL (Oktober 2024).
* Kehutanan: Izin kawasan hutan (Mei 2021).
* KKP: PKKPRL (Agustus 2023).
* Perhubungan: Izin terminal khusus (Januari 2024).
3. Produksi Nikel
Sejak 2023, PT KSM telah memproduksi 1.513.413 WMT dan menjual 1.495.928,13 WMT nikel.
4. Komitmen Reklamasi
Perusahaan mengklaim menerapkan manajemen lingkungan dengan:
* Penutupan timbunan batuan untuk cegah air asam tambang.
* Penguatan lereng dan reklamasi lahan bekas tambang.
5. Dampak Sosial dan Ekonomi
PT KSM menyoroti kontribusi terhadap masyarakat:
* 83% tenaga kerja adalah Orang Asli Papua (OAP).
* Program beasiswa hingga jenjang S-3, termasuk satu mahasiswa program doktoral.
* Fasilitas kesehatan gratis, termasuk akomodasi pasien dan keluarga.
* Renovasi sekolah, pustu, rumah genset, subsidi guru honorer.
* Program pertanian dan perikanan lokal dengan hasil dibeli oleh perusahaan.
“Anak-anak kami bisa kuliah karena beasiswa dari perusahaan. Kami bisa berobat tanpa pikir biaya. Jadi, kami tahu siapa yang betul-betul bantu kami,” kata seorang ibu penerima manfaat.
Gelombang protes masyarakat muncul setelah pemerintah pusat mencabut izin operasi tambang PT KSM, sebuah langkah yang mereka nilai sebagai bentuk ketidakadilan terhadap kedaulatan adat dan masa depan ekonomi mereka.
Yustus Ayei menegaskan bahwa pihakya telah membuat pernyataan ini dengan sebenar-benarnya tanpa paksaan dari pihak manapun.
Kasus ini memperlihatkan konflik narasi antara agenda konservasi global yang dibawa Greenpeace dan kebutuhan pembangunan masyarakat lokal. Di satu sisi, Raja Ampat dikenal sebagai kawasan konservasi dunia, namun di sisi lain, masyarakat adat menuntut hak untuk memanfaatkan sumber daya demi masa depan mereka.
“Kami tidak butuh orang luar datang ajari kami tentang hutan dan laut. Kami tahu cara jaga tanah kami, tapi kami juga butuh hidup lebih baik,” ucap seorang nelayan Kawei.
Konflik Greenpeace dan Suku Kawei membuka lembaran lama soal dilema Papua: antara konservasi dan pembangunan.
Meskipun PT KSM menyodorkan legalitas dan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), ketegangan dengan organisasi lingkungan seperti Greenpeace memperlihatkan betapa kompleksnya isu lingkungan di Papua yang tak hanya soal alam, tetapi soal identitas, hak adat, dan survival masyarakat lokal. (Jharu)
Komentar