SORONG, PBD – Polemik terkait pertambangan nikel yang beberapa pekan menjadi memanas di masyarakat menjadi perhatian menteri ESDM, Bahlil Lahadalia yang turun langsung ke Pulau Gag Distrik Waigeo Barat Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Sabtu 7 Juni 2025 lalu.
Kedatangan Bahlil didampingi Gubernur Papua Barat Daya dan Bupati Raja Ampat tersebut dianggap salah sasaran. Apakah demikian ? berikut penelusuran redaksi sorongnews.com.
Berdasarkan data kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)Â hingga saat ini, terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki izin resmi untuk beroperasi di wilayah Raja Ampat.
Dua perusahaan memperoleh izin dari Pemerintah Pusat, yaitu PT Gag Nikel dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2017 dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2013.
Tiga perusahaan lainnya memperoleh izin dari Pemerintah Daerah atau Bupati Raja Ampat, yaitu PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, dan PT Nurham dengan IUP diterbitkan pada tahun 2025.
Perusahaan dengan Izin dari Pemerintah Pusat
1. PT Gag Nikel
Pemegang Kontrak Karya (KK) Generasi VII dengan luas wilayah 13.136 hektar di Pulau Gag ini telah memasuki tahap Operasi Produksi berdasarkan SK Menteri ESDM No. 430.K/30/DJB/2017 yang berlaku hingga 30 November 2047. Perusahaan ini telah memiliki dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) pada tahun 2014, lalu Adendum AMDAL di tahun 2022, dan Adendum AMDAL Tipe A yang diterbitkan tahun lalu oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sementara itu IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) dikeluarkan tahun 2015 dan 2018. Penataan Areal Kerja (PAK) diterbitkan tahun 2020. Hingga 2025, total bukaan tambang mencapai 187,87 Ha, dengan 135,45 Ha telah direklamasi. PT Gag Nikel belum melakukan pembuangan air limbah karena masih menunggu penerbitan Sertifikat Laik Operasi (SLO). Namun telah menyiapkan 5 kolam penampungan air penambangan sebagai upaya memfilter sedimentasi.
PT Gag Nikel ternyata bukan pemain baru, menurut penuturan Sekretaris Desa Pulau Gag, Adanan Ismail sebelum PT Gag Nikel beroperasi, pulau Gag sebelumnya telah dieksploitasi sejak jaman Belanda dengan nama perusahaan Pasifik Nikel atau lebih dikenal dengan sebutan Paniki. Jejak-jejak peninggalan Pasifik Nikel masih tersisa yaitu dengan adanya landasan pesawat terbang bernama Paniki.
Setelah Paniki, ada sejumlah perusahaan lain yang masuk untuk melakukan penambangan di pulau seluas 77,27 kilometer persegi. Hingga beralih ke PT Gag Nikel yang kini menjadi anak perusahaan PT Antam, salah satu Badan Usaha Milik Negara.

2. PT Anugerah Surya Pratama (ASP)
Perusahaan ini mengantongi IUP Operasi Produksi berdasarkan SK Menteri ESDM No. 91201051135050013 yang diterbitkan pada 7 Januari 2024 dan berlaku hingga 7 Januari 2034. Wilayahnya memiliki luas 1.173 Ha di Pulau Manuran.
Untuk aspek lingkungan, PT ASP telah memiliki dokumen AMDAL pada tahun 2006 dan UKL-UPL di tahun yang sama dari Bupati Raja Ampat.
Di Indonesia, PT ASP merupakan group PT Wanxiang Nickel Indonesia yang merupakan salah satu perusahaan besar asal Cina yang juga membuka smelter di Morowali. Kepemilikan saham PT Wanxiang Nickel dikaitkan dengan raksasa tambang Cina, Vansun Group.
Foto citra satelit menunjukan bukaan yang cukup besar di Pulau Manuran yang terletak di utara pulau Waigeo.
Dikutip dari sejumlah media Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Murofiq mengatakan Pantai di Pulau Manuran menjadi keruh karena aktivitas pertambangan di lokasi tersebut. Sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan.

Perusahaan dengan Izin dari Pemerintah Daerah
1. PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)
Perusahaan ini merupakan pemegang IUP dari SK Bupati Raja Ampat No. 153.A Tahun 2013 atau pemerintahan Bupati, Almarhum Markus Wanma, yang berlaku selama 20 tahun hingga 26 Februari 2033 dan mencakup wilayah 2.193 Ha di Pulau Batang Pele. Kegiatan masih tahap eksplorasi (pengeboran) dan belum memiliki dokumen lingkungan maupun persetujuan lingkungan.
Area lokasi penambangan terletak di Pulau Batang Pele dan Manyaifun.
Keberadaan PT MRP ini beberapa kali ditolak masyarakat setempat karena, banyak warga sekitar yang menggantungkan hidup mereka dari hasil pariwisata di Pulau tersebut.
2. PT Kawei Sejahtera Mining (KSM)
PT KSM memiliki IUP dengan dasar hukum SK Bupati No. 290 Tahun 2013, atau pemerintahan Bupati, Almarhum Markus Wanma, yang berlaku hingga 2033 dengan wilayah seluas 5.922 Ha.
Untuk penggunaan kawasan, perusahaan tersebut memegang IPPKH berdasarkan Keputusan Menteri LHK tahun 2022. Kegiatan produksi dilakukan sejak 2023.
3. PT Nurham
Pemegang IUP berdasarkan SK Bupati Raja Ampat No. 8/1/IUP/PMDN/2025 yang ditanda tangani pada tanggal 24 Februari 2025 ini memiliki izin hingga tahun 2033 dengan wilayah seluas 3.000 hektar di Pulau Waigeo.
Perusahaan telah memiliki persetujuan lingkungan dari Pemkab Raja Ampat sejak 2013. Hingga kini perusahaan belum berproduksi dan menjadi pendatang baru dalam kegiatan penambangan yang diketahui akan beroperasi di Yesner Waigeo Timur.
Belum banyak informasi mengenai PT Nurham ini. Berdasarkan informasi, PT Nurham merupakan salah satu perusahaan milik kontraktor ternama di Raja Ampat. Namun informasi lainnya menyebutkan kepemilikan PT tersebut telah berpindah tangan.
Keberadaan PT Nurham sebagai pendatang baru, tentu mengejutkan publik karena SK Bupati Raja Ampat tersebut dikeluarkan di awal tahun 2025 dimasa transisi pemerintahan Bupati Raja Ampat Abdul Faris Umlati ke Pemerintahan Bupati Orideko Iriano Burdam.
Dampak Pariwisata
Penambangan Nikel mencuat dan menjadi perhatian publik, usai aktivis greenpeace melakukan aksi protes pada konferensi nikel internasional di Jakarta. Kemudian muncul sejumlah foto-foto yang menggambarkan pariwisata Raja Ampat telah tercemar limbah nikel. Foto yang diduga editan Artificial Intelligence (AI) menyudutkan pariwisata Raja Ampat.
Penelusuran penulis saat berkunjung ke Piaynemo, Minggu (8/6/2025) tidak terlihat adanya endapan sendimen lumpur atau tanah di Pulau tersebut. Laut masih terlihat biru, airnya jernih bagaikan kaca, hingga terlihat ikan menari-nari dipinggir dermaga, bahkan saat berada di puncak Piaynemo tak terlihat adanya pencemaran limbah seperti yang digambarkan.
Masyarakat setempat bernama Isak, menyebut, kejam jika pariwisata menjadi korban konflik tambang di Raja Ampat. Meski Ia kecewa juga kenapa pemerintah memberikan ijin penambangan di Kabupaten Bahari tersebut.
Kepala Dinas Pariwisata Papua Barat Daya, Yusdi Lamatenggo juga berharap agar persoalan tambang nikel di Raja Ampat segera diatasi agar pariwisata di Raja Ampat yang telah menerima penghargaan Unesco sebagai Geopark dunia dapat terjaga.
Pemerintah dari lintas kementerian kini mengirimkan utusan terbaiknya ke Raja Ampat untuk menyelesaikan persoalan tambang nikel yang menjadi buruan pengusaha. Namun belum ada solusi konkrit mengatasi persoalan tersebut.
Kita sama-sama berharap agar eloknya Raja Ampat sebagai wajah Indonesia, tak tercemar dengan penambangan yang dapat merusak lingkungan dan pariwisata.
Jadi apakah kunjungan Menteri ESDM belum tepat sasaran? Tentu kita berharap Pak Menteri bisa mendatangi satu persatu kawasan tambang tersebut dan tegas menyelesaikan persoalan tambang tersebut.
(Penulis : Pemred Sorongnews.com Olha Irianti Mulalinda)
Komentar