Tokoh Perempuan Papua Sebut Pengelolaan Anggaran Pembangunan Sebelum Era Gubernur Lukas Enembe Jauh Lebih Baik

 

JAYAPURA – Angka kemiskinan di Provinsi Papua sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Maret 2022 adalah sebesar 26,56%. Angka itu sekaligus menjadikan Provinsi Papua menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Peringkat kedua adalah Provinsi Papua Barat sebesar 21,33%. Sementara Provinsi Aceh yang sama-sama mendapatkan kucuran dana Otonomi Khusus (Otsus) adalah 14,64%.

Kondisi itu membuat tokoh perempuan Jayapura, Dra. Sipora Nelci Modouw, M.M angkat bicara. Ketua Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Provinsi Papua ini menyebutkan kendala-kendala yang menyebabkan sulitnya memajukan Papua. Salah satu di antaranya adalah pengkaderan pemimpin atau leadership di Papua yang dinilainya kurang bagus. Hal ini berdampak pada pengangkatan orang-orang yang duduk dalam birokrasi seakan tidak terseleksi secara baik dan benar.

“Dalam birokrasi yang ada saat ini, mungkin masih ada orang-orang yang tidak tahu baca, tidak tahu tulis, tidak mengerti aturan pemerintah juga. Ini tidak ditemukan pada saat saya masih ada di birokasi,” ungkap mantan Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Prov. Papua ini, di Jayapura, Rabu (23/11/2022).

Sipora Nelci Modouw menyebut, ketika Provinsi Papua dipimpin oleh Gubernur Barnabas Suebu, program pembangunan begitu rapi, mulai dari planning hingga pelaksanaan.

“Master plan Pak Bas Suebu jauh lebih hebat dari yang ada di birokrasinya Lukas Enembe. Saya ada di masa itu dan saya tahu bagaimana caranya akuntabilitas itu jalan dengan baik. Karena harus ada rapat periodik pimpinan dengan gubernur, kemudian evaluasi dan sebagainya, itu terasa. Tapi di jaman sesudah saya, saya tidak ikuti, hanya dengar hasil saja, dan lihat hasilnya tidak terasa sama sekali. Apa yang ada ini (adalah) hasil pembangunan dari gubernur-gubernur yang lama,” kata adik kandung pelaku sejarah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) alm. Ramses Ohee ini.

Kendala lainnya, lanjutnya lagi, adalah konstruksi budaya Papua yang menempatkan kaum perempuan sulit untuk terlibat secara langsung dalam merumuskan maupun melaksanakan kebijakan-kebijakan pembangunan. Hal itu membuat dirinya miris. Kendati menjadi Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Papua, aku Sipora Nelci Modouw, ia belum mampu membawa kaum perempuan Papua keluar dari kungkungan budaya tersebut.

“Saya punya dana besar tapi tidak bisa bikin apa-apa, karena di akar rumput, laki-laki memegang peranan penting. Kami terbentur dengan hambatan-hambatan sosial yang terkonstruksi begitu ketat dan kita tidak mencapai apa-apa,” kata pendiri Ikatan Perempuan Asal Sentani (IPAS) ini.

Menurutnya, Papua dengan sekitar 3 juta OAP (Orang Asli Papua) ini sebetulnya gampang dibangun. Tapi dalam praktiknya, sulit sekali karena tidak semua laki-laki yang menjadi birokrat, punya visi dan misi yang jelas.

“Mereka tidak punya hati yang baik untuk membawa Tanah Papua ini, membawa masyarakat ini, untuk maju,” kata Sipora Nelci Modouw.

Sipora Nelci Modouw juga melayangkan kritik terhadap tokoh-tokoh Papua yang duduk di Majelis Rakyat Papua (MRP). Menurutnya, lembaga kultur yang dibentuk sebagai amanat UU Otsus Papua itu bisa berkiprah lebih baik, jika orang-orangnya memiliki knowledge, skill, dan attitude yang mumpuni sehingga program-program yang dihasilkan bisa sinergis dengan program dari eksekutif serta kebijakan yang dihasilkan oleh DPRP.

“Saya sarankan, lembaga ini (MRP) harus ditempati oleh orang-orang yang punya wawasan tentang agama, adat, dan perempuan, agar bisa menghasilkan output yang bisa sinergis atau match dengan apa yang dihasilkan oleh legislatif dan eksekutif. Tidak hanya dana yang dikucurkan tapi programnya juga. Tiga tungku ini (DPRP, MRP, dan eksekutif) harusnya matching,” kata Sipora Nelci Modouw.[*]

Komentar