Meski sebagian warga ada yang menggunakan mesin bor untuk memperoleh air bersih dengan bantuan genset, tak sedikit pula warga yang masih menggunakan sumur tua tersebut untuk beraktifitas.
Saat itu, Saya bertemu dengan dua orang remaja Wiwin dan Ona. Mereka bersahabat dan sedang mencuci pakaian kerabat mereka. Mereka menceritakan betapa sulitnya mereka hidup tanpa listrik. Tidak ada sarana Televisi untuk menonton atau mencari hiburan. Jaringan internet juga sangat sulit sehingga HP mereka hanya gunakan untuk berkomunikasi. Apalagi mesin cuci untuk mencuci pakaian, jauh dari pikiran mereka. Jadi pekerjaan manual yang tidak mengandalkan listrik harus mereka kerjakan secara mandiri.
Bukan hanya Wiwin dan Ona, sejumlah pelajar disana pun mengeluh terkait penerangan.
Daud, salah satu siswa kelas 2 SMP ini bercita-cita menjadi seorang Dokter. Ia terpaksa harus belajar siang hari usai pulang sekolah, karena listrik pada malam hari sangat terbatas.

“Biasanya kalau kehabisan bahan bakar buat genset. Katong harus pakai pelita. Jadi kalau belajar siang hari saja pulang sekolah. Padahal capek juga. Maunya malam belajar. Tapi katong tidak bisa. Kalau ada listrik, katong bisa belajar kapan saja, malam dipakai buat belajar atau mengaji,” ucap Daud.
Ia berharap cita-citanya sebagai Dokter bisa terwujud agar dapat kembali mengabdi di kampungnya, melayani kesehatan orang tua dan warga kampung. Dimana saat ini mereka harus menikmati sarana kesehatan di kampung yang lebih besar menggunakan perahu selama dua jam perjalanan atau bahkan 6-8 jam jika mau ke Rumah Sakit.
Komentar