SORONG, – Siang itu, Rabu (26/5/21) Perempuan berkerudung merah dengan gamis berwarna senada bermotif ciri khas Papua tergopoh-gopoh menunggu Saya dipinggir jalan depan alun-alun Aimas Kabupaten Sorong, Papua Barat. Saya terlambat sekitar 20 menit dari janji kami jam 11 siang. Saya sebenarnya tidak berniat terlambat, tapi karena ada suatu masalah akhirnya Saya harus menahan malu kepada Perempuan berhijab tersebut.
Iswarni Pujiningrum yang akrab disapa Mbak Ningrum memang terkenal tepat waktu. Meski rumahnya jarak puluhan Kilo meter dari Kota Sorong dan tidak memiliki kendaraan pribadi, Ia selalu on time jika sudah berjanji, baginya Janji adalah komitmen.
Kali Ini, Saya bersama rekan dari LPP RRI janjian untuk ketemu salah satu penyandang disabilitas di Kelurahan Makbalim, Distrik Mayamuk SP 4 Kabupaten Sorong, Papua Barat. Sekitar 30 menit perjalanan kami dari Aimas Kabupaten Sorong. Kami menemui sebuah keluarga dengan anak yang Tuna Wicara dan hiperaktif, Mbak Ningrum dengan sabar terlihat sangat disayang oleh anak ini. Anak ini terlihat akrab dengan Mbak Ningrum dan hanya dapat mendengarkan Mbak Ningrum ketimbang Ibunya sendiri.
Usai berlama-lama bercerita dengan keluarga tersebut, Saya pun diajak Mbak Ningrum menuju rumahnya yang berlokasi di Jalan Rinjani Rt. 002-Rw. 004, Kelurahan Makbalim, Distrik Mayamuk, SP 4, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Setibanya dirumah, Ia kemudian bergegas menemui anak perempuannya yang terbaring tak berdaya diatas Kasur tipis di ruang tengah rumah berwarna krem. Ia menyuapi dan memberikan minum pada anaknya dengan penuh kasih sayang.
Diceritakan perempuan kelahiran Temanggung, 14 Pebruari 1975, bahwa dirinya telah terbiasa mengurusi orang sakit sejak kecil. Mulai dari mengurusi bude (tante) nya di rumah sakit selama sebulan karena struk, mengurusi kakak sepupunya yang dirawat karena sakau (putus obat karena kecanduan Narkotika atau zat adiktif) hingga merawat penderita gangguan jiwa yang tidak lain adalah sepupunya sendiri.
“Saya memang bukan dari medis, tapi karena terbiasa sejak kecil Saya justru banyak belajar soal medis, khususnya merawat orang-orang sakit,” ucapnya mengawali perbincangan saat itu.
Ningrum, anak bungsu dari 3 bersaudara yang seluruhnya perempuan kemudian memutuskan menikah usai lulus SMA di tahun 1994.
Pernikahan yang harmonis, tentu menjadi impian seluruh perempuan, apalagi dengan pria pilihan hatinya. Namun, bukan itu yang didapat Ningrum. Setelah menikah, Ia justru merasakan hal yang berbeda, terkekang dan seakan terpenjara. Lebih dari itu, siksaan batin maupun fisik dirasakan Ningrum diperjalanan pernikahannya.
Diusia ke-4 tahun pernikahannya, Ningrum dinyatakan hamil dan melahirkan anak perempuan pertamanya yang diberi nama Aisyatul Azizah. Anak pertama dan cucu yang sangat dinanti oleh keluarga besar, terlahir sempurna dan lucu layaknya bayi pada umumnya.
Namun, diusia 4 bulan, bayi pertama Ningrum yang akrab disapa Ndo atau dalam panggilan jawa artinya anak perempuan kesayangan, mengalami demam dan enggan minum ASI. Khawatir, Ningrum bersama Ayahnya membawa Ndo ke Rumah Sakit untuk dicek kesehatannya dan akhirnya setelah chek up Ndo dinyatakan oleh dokter mengalami pecah pembuluh darah hingga ke otak kecil.
“Saya tidak bisa ngomong apa-apa, Saya cuma bisa diam sampai di rumah,” kisahnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Ningrum yang ikhlas menerima vonis dokter berbeda sikap dengan suaminya. Hingga saat ini, menurut Ningrum, Aisyatul tidak dianggap anak oleh sang suami. “Kata dia, Ndo bukan anaknya,” menirukan perkataan suaminya kala itu.
Meski demikian, Ningrum mencoba untuk menerima dan masih bertahan. Hingga akhirnya, Ningrum kembali hamil anak dan melahirkan anak ke-2 yang berjenis kelamin laki-laki, Muhammad Surya Adi Kusuma yang akrab disapa Nanang. Ningrum berharap, suaminya dapat berubah. Karena, anak ke-2 ini yang dianggap anak oleh suaminya. Namun, ia salah. Suaminya tetap berperilaku kasar hingga Ia memutuskan lari bersama anak-anaknya.
Ia sempat berpetualang dibeberapa daerah, mulai dari Cilacap, Cirebon Jawa Barat, hingga Jayapura dan pada akhirnya Ia memutuskan ke Sorong menyusul kedua orang tuanya sebagai transmigrasi.
“Nanang naik kelas 4, Bapak saya panggil ke Sorong. Karena Saya sudah pisah dari Suami dan merasa masih ada Bapak sebagai pelindung, Saya ikut saja untuk ke Sorong,” jelasnya.
Guna menyambung hidup, setibanya di Sorong Ia bekerja disejumlah tempat. Menurutnya, kerja dimanapun tidak menjadi masalah, yang penting halal dan mampu untuk membiayai kedua anaknya.
Hingga akhirnya, tahun 2015, Ningrum dipertemukan oleh sebuah LSM yang membawa isu disabilitas di Kabupaten Sorong. Tepat dibulan Desember 2015, Hari Disabilitas Internasional, seluruh orang tua yang memiliki anak disabilitas disuruh untuk menulis. Mereka diminta untuk mengungkapkan apa yang dirasakan saat memiliki anak disabilitas.
Sejak saat itu, Ia sering mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh LSM tersebut, salah satu dari anggota LSM justru mendorong untuk terus meningkatkan perhatian terhadap isu disabilitas melalui wadah bagi yang peduli terhadap disabilitas.
Hingga akhirnya dibulan Februari 2016, Ningrum memutuskan untuk membuat forum dengan beberapa temannya penyandang disabilitas maupun orang tua penyandang disabilitas. Pertemuan yang rutin dilakukan, justru membuat satu persatu temannya mengundurkan diri dengan berbagai alasan.
LSM itu kemudian selesai kontrak di Kabupaten Sorong, teman-temannya menjauh, namun tidak menyurutkan semangat Ningrum untuk tetap peduli dengan disabilitas di wilayah Kabupaten Sorong.
Membangun Yayasan Nema Folok, cukup banyak cobaan yang diterima. Mulai dari yayasan yang tidak berpayung hukum. Hingga fitnahan dari teman seperjuangan yang mengatakan dirinya menerima dana hibah. Hal itu dimaklumi oleh Ningrum karena berjuang demi kelompok marginal bukan perkara mudah.
Ia justru bertambah semangat untuk membangun yayasan tersebut, hingga pada Maret 2019, Yayasan Nema Folok resmi berbadan hukum.
Nama Yayasan yang diambil dari bahasa asli suku Moi Nema Folok atau Mari Lihat itu, bertujuan agar Yayasan ini dapat dilihat oleh semua orang, dapat kepedulian dari semua pihak, dengan harapan tidak hanya Disabilitas yang dapat tertampung, orang dengan gangguan kejiwaan bahkan lansiapun, siap untuk Ia rawat.
Melalui Yayasan Nema Folok, Ia membuktikan bahwa mimpi itu dapat diraih dengan semangat kerja keras dan pantang menyerah, meski tidak didukung anggaran.
“Saya bermimpi bisa memiliki tempat layaknya Rindang Kasih di Magelang – Jawa Tengah. Tempat dimana sejak kecil, Saya sudah sering berkunjung untuk menemui kakak Saya yang bekerja di sana. Saya memang tidak punya uang, tetapi Saya punya hati untuk mereka,” tutupnya dengan optimisme. (Oke)
Komentar