LEGENDA BUNG KARNO DI AYAMARU, KABUPATEN MAYBRAT: Sikap Nasionalisme dari Pedalaman Kepala Burung (Vogelkopt) Papua Barat

“Administratively the Dutch designate a large sector of the Vogel-kopt in western New Guinea as the Ajamaroe District. The same term is applied to the inhabitants of the area, though they are divided in to many fairly small groups by linguistic differences and have no common name for themselves. Very little is known about any of them except those whom the government has induced to take up part-time residence in about 50 hamlets clustered about a chain of shallow, muddy lakes in the mid-interior. The administrative center for the district is located near the western end of the lakes. Its personnel are few, not more than a half dozen at the most. Their communication and supply line to the outside is by amphibious plane, which is scheduled to make weekly appearances. The only other contact is by foot over at rail to the southcoast, adevious route over rough terrain.”

AYAMARU DI MASA PERMULAAN
Nama Ayamaru (Ajamaroe) berasal dari dua kata: aya dan maru. Dalam bahasa setempat, aya berarti air, sedangkan maru artinya danau. Danau Ayamaru dan bahasa Ayamaru memang identik. Bila disebutkan nama itu, bisa tertuju pada danau ataupun bahasa. Begitu juga sebutan suku bangsa Ayamaru karena mendiami kawasan danau dengan nama yang sama.
Sebelum memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik, masyarakat di Ayamaru masih memeluk agama suku. Mefkajim merupakan nama dewa yang dipercayai oleh masyarakat disana sebagai perwujudan kekuatan yang menghalau dewa dari daerah lain. Kini, nama Mefkajim menjadi nama Kampung di Kelurahan Ayamaru.

Suku bangsa Ayamaru merupakan integrasi beberapa klan atau marga-marga. Klan atau marga-marga yang dikategorikan sebagai suku bangsa Ayamaru di Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat, yaitu: Bless, Jitmau, Kambuaya, Kambu, Karet, Kolis, Mder, Naa, Nauw, Salosa, Sinon dan Vaa. Marga Kolis dan marga Mder adalah dua klan atau marga yang di kategorikan berasal dari suku bangsa Ayamaru, namun bermigrasi ke wilayah suku bangsa Moi Kalabra.

Suku bangsa Ayamaru di Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat, tersebar di wilayah Distrik Ayamaru yang meliputi Kampung Afes, Fraharo, Framu, Mefkajim II, Smusswioh, Tuso dan Twer. Selain itu, tersebar di Distrik Ayamaru Timur yang memiliki delapan kampung: Faitmajin, Faitsiur, Huberita, Insas, Ismayo, Kambuaya, Keyum dan Sefayit.

AYAMARU PADA MASA KESULTANAN TIDORE AKHIR
Ayamaru juga pernah di bawah pemerintahan Kesultanan Tidore pada masa-masa akhir. Tercatat dalam sejarah, tiga orang dari kawasan Teminabuan dan Ayamaru ditetapkan sebagai Raja. Mereka adalah Anggok Kondjol atau Fle-Fle Kondjol sebagai Raja Kaibus, Besi Thesia sebagai Raja Siribau (Teminabuan) dan Flebro sebagai Raja Framu (Ayamaru).
Ketiga Raja tersebut diangkat oleh Kesultanan Tidore di Kampung Wersar, dekat Sungai Kaibus. Sebagai bukti pengangkatan, mereka menerima medali dan tongkat kebesaran serta topi/kopiah. Surat Pengangkatan itu tertulis dalam bahasa Belanda dan Melayu. Ini terjadi sekitar tahun 1920 hingga 1930.

AYAMARU PADA MASA PEMERINTAHAN BELANDA
Sebelum tahun 1935, tidak ada orang asing yang masuk ke kawasan Ayamaru (Ajamaroe gebied). Polisi Belanda (Nederland Nieuw Guinea) juga hanya sesekali melakukan patroli kesana. Itupun jumlahnya terbatas karena faktor kekurangan sumber daya manusia. Hingga 17 tahun berikutnya, Ayamaru belum mendapat sentuhan berarti dari pemerintah kolonial Belanda.

Hingga tahun 1952, Ayamaru belum berdiri sendiri ataupun menjadi Onder-Afdeeling apalagi Afdeeling. Pada tahun 1935 hingga 1952 itu, posisi Ayamaru masih di bawah Afdeeling Sorong. Bahkan nama Ayamaru kalah oleh Inanwatan, yang sejak tahun 1936 telah menjadi Onder-Afdeeling dari Afdeeling West & South Nieuw Guinea, bersama Onder-Afdeeling lainnya: Fak Fak, Mimika, Boven Digoel dan South Nieuw Guinea.

Nama Ayamaru baru muncul sebagai pusat pemerintahan Onder-Afdeeling dari Afdeeling West Nieuw Guinea yang berpusat di Sorong pada 10 Mei 1952. Ada sembilan Onder-Afdeeling yang dibentuk bersamaan dengan Ayamaru, yaitu: Sorong, Makbon, Raja Ampat, Manokwari, Ransiki, Wandamen, Bintuni dan Fak Fak. Begitu juga saat terjadi perubahan wilayah administratif di bawah Gubernur J. van Baal pada 31 Oktober 1953, Ayamaru tetap masuk dan menjadi bagian dari Afdeeling West Nieuw Guinea.

Hanya pada 1954, terjadi perubahan ibukota Afdeeling West Nieuw Guinea, dari yang semula di Sorong dipindahkan ke Manokwari. Begitu juga Bintuni digabung ke Ayamaru, sebagai pusat pemerintahan Onder-Afdeeling. Tujuh tahun kemudian (1961), Onder-Afdeeling Ayamaru dihilangkan serta ada penggantian Onder-Afdeeling dari Inanwatan menjadi Teminabuan. Sedangkan Onder-Afdeeling Ayamaru, digabung ke dalam Onder-Afdeeling Bintuni.

Pemekaran Afdeeling dan atau penghapusan Onder-Afdeeling di Nederland Nieuw Guinea biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, faktor keamanan. Kedua, faktor politik. Ketiga, faktor ekonomi (bezuining) dan keempat, faktor hubungan baik dengan missionaris.

LEGENDA SUKARNO PERNAH BERADA DI AYAMARU
Menurut tuturan dari salah seorang tokoh adat di Ayamaru, Bung Karno pernah berada di Ayamaru. Hanya saja secara kronologis, penanggalan waktunya belum bisa dipastikan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa antara tahun 1931 hingga 1938. Lokasinya berada di Kampung Framu, Kelurahan Ayamaru, Distrik Ayamaru sekarang.

Menurut tuturan Simson Sonny Bless, S.H., salah seorang tokoh adat di Ayamaru, bahwa Bung Karno pernah berada di tepi Danau Framu dan juga di goa serta tinggal di rumah yang dikenal sekarang sebagai rumah HPB. Ketiga lokasi ini jaraknya berdekatan dan masih termasuk Kampung Framu.

Berdasarkan legenda itu, Bung Karno pernah berada di tepi danau Framu yang dulu dianggap tempat pamali atau keramat. Bung Karno saat itu bersama Bapak Angkatnya, yaitu Klawok Kaleb Bless. Legenda ini memang pertama kali berasal dari tuturan Klawok Kaleb Bless yang kemudian dituturkan secara turun-temurun. Di dekat lokasi ini, kini terdapat SMA Ayamaru.
Bung Karno juga dikatakan pernah berada di goa di atas bukit untuk beristirahat dan bersembunyi. Saat itu, ada yang mencari Bung Karno hingga ke tepi danau, tetapi Bung Karno ternyata sudah naik ke atas bukit dan masuk ke dalam goa itu. Sambil menyelimuti tubuhnya dengan kain sarung, Bung Karno juga melumuri badannya dengan debu tanah agar seolah-olah terlihat sedang sakit.

Lokasi goa ini terletak persis di arah pintu masuk ke Gereja Pekabaran Injil (GPI) Jalan Suci Kampung Framu. Posisinya berada di atas tebing sebelah kanan. Saat ini, goa kecil itu sudah tertimbun reruntuhan tanah dari atasnya. Hal ini menyebabkan bagian goa tertutup dan hanya menyisakan sedikit ruang.

Menurut penuturan Sonny lagi, masyarakat di Framu, Ayamaru mengetahui kisah itu karena saat itu ada pamflet atau brosur yang dijatuhkan dari pesawat. Setelah melihat foto di famplet itu, orang tua mereka baru mengetahui bahwa foto itu adalah foto Presiden Republik Indonesia, yaitu Ir. Soekarno.

Meskipun ada penyangkalan dari anak-anaknya, tetapi orang tua mereka tetap mengatakan, bahwa sosok itulah yang pernah berada di Kampung mereka, puluhan tahun sebelumnya. Orang itu adalah Bung Karno, yang pernah berada di tepi Danau Framu dan juga bersembunyi di dalam goa dan menempati rumah yang kini dikenal sebagai rumah HPB.

BUNG KARNO DALAM LINTASAN SEJARAH PERJUANGAN DI INDONESIA
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan di Indonesia, Bung Karno seolah menjadi episentrum. Bung Karno memiliki pandangan, bahwa dengan mobilisasi massa yang banyak, maka akan bisa mendobrak keangkuhan penjajah saat itu. Meski pandangannya ini ada yang menentang, tetapi Bung Karno tetap bersikukuh menjalankan tekadnya.

Sebagai konsekuensi dari pergerakannya tersebut, Bung Karno beberapa kali harus merasakan dinginnya lantai penjara di Bandung. Bahkan, karena dianggap sudah membahayakan keamanan negara, Bung Karno kemudian ditangkap dalam suatu perjalanan ke Jakarta di dekat rumah M.H. Thamrin. Tanpa persidangan apapun, Bung Karno akhirnya diputuskan akan diasingkan keluar Jawa.

Saat itu, sebenarnya Pemerintah Kolonial Belanda akan mengasingkan Bung Karno bersama dengan Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir ke Boven Digoel, Tanah Merah, Merauke, Papua (Nederland Nieuw Guinea). Namun karena ada pertimbangan lain, akhirnya Bung Karno pun tidak jadi diasingkan ke Papua, melainkan ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Sejak 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938, Bung Karno, istri dan mertuanya berada di pengasingan di Ende, NTT. Segala gerak-gerik Bung Karno diawasi dengan ketat. Meski demikian, Bung Karno tetap bisa membaur dengan masyarakat. Seringkali, Bung Karno juga duduk-duduk di bawah pohon sukun untuk memikirkan nasib perjuangan ke depannya.

Seperti Siddharta Gautama yang mendapat penerangan sempurna di bawah pohon Boddhi, demikian pula Bung Karno akhirnya mendapat pencerahan mengenai dasar negara (Pancasila) di bawah pohon sukun itu. Kisah di bawah pohon sukun ini juga menjadi legenda, dan sebagai legenda tentu saja banyak mitos yang kemudian menyelubunginya.

Usai dari Ende, NTT, Bung Karno kemudian diasingkan ke Bengkulu pada 1938 hingga 1942. Selama empat tahun di Bengkulu, Bung Karno juga pernah aktif di organisasi Muhammadiyah bahkan pernah menjadi Sekretaris Muhammadiyah disana. Meski Pemerintah Kolonial tetap mengawasi dengan ketat pergerakan Bung Karno, tetapi dengan taktik khusus Bung Karno dapat mengelabui mereka.

SEMANGAT NASIONALISME DI AYAMARU, KABUPATEN MAYBRAT
Membandingkan Legenda Bung Karno di Ayamaru dengan Sejarah Umum Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, tersisa tahun 1931 hingga 1934 dimana Bung Karno masih bebas memperjuangkan keyakinannya dalam memperjuangkan kemerdekakan Indonesia dari penjajahan. Tetapi, pada tahun-tahun itu, Bung Karno masih fokus di Jawa. Sekali pun belum pernah keluar dari Pulau Jawa.

Oleh sebab itu, bila kemudian di Ayamaru (Maybrat) ada legenda yang menyatakan bahwa Bung Karno pernah berada disana, maka perlu dilakukan kajian dan telusur sejarah. Ilmu Sejarah merupakan suatu ilmu yang memiliki hubungan erat dengan kehidupan manusia.

Setiap kehidupan manusia terdapat berbagai peristiwa. Oleh karena itu jika seorang sejarawan akan menulis kembali peristiwa tersebut, maka terdapat beberapa konsep berfikir yang harus diterapkan. Konsep itu adalah sinkronik (unsur waktu) dan diakronik (unsur ruang).

Bila dilihat dari unsur waktu (sinkronik), keberadaan Bung Karno di Ayamaru dibatasi hanya kemungkinan pada tahun 1931 hingga 1934. Sebab, dari tahun 1934 hingga 1938 dan dari tahun 1938 hingga tahun 1942, Bung Karno berada dalam pengasingan di tempat lainnya. Pembabakan ini menunjukkan, bahwa Bung Karno tentu saja tidak mungkin berada di dua lokasi pada saat yang bersamaan.

Begitu juga, pada tahun 1931 hingga 1934 itu, Bung Karno masih menjadi aktifis pergerakan yang memperjuangkan Kemerdekaan Republik Indonesia dari penjajahan di Pulau Jawa (Surabaya dan Bandung). Tidak pernah sekalipun Bung Karno meninggalkan Pulau Jawa sebelum masa pengasingan beliau yang pertama (1934-1938) ataupun yang kedua (1938-1942).

Bila dilihat dari unsur ruang (diakronik), saat itu Ayamaru masih belum di bawah pengaruh Pemerintahan Nederland Nieuw Guinea (Belanda) secara definitif. Bahkan, tahun 1935 saja Ayamaru masih belum dikelola secara maksimal oleh Belanda. Belum ada pusat pemerintahan Kolonial disana, begitu juga perkantoran lainnya.

Barulah pada 1952, Ayamaru menjadi salah satu onder-afdeeling dari Pemerintahan Nederland Nieuw Guinea yang berada di Sorong. Saat itu Sorong menjadi pusat Afdeeling dari West Nieuw Guinea yang membawahi 9 onder-afdeeling lainnya termasuk Ayamaru.

Oleh sebab itu, tidak ada alasan logis menurut sejarah, bahwa Bung Karno akan diasingkan di suatu lokasi yang pemerintah Hindia Belanda sendiri belum memiliki pengaruh di tempat tersebut pada tahun-tahun itu. Sebab, hingga tahun 1935 saja, pemerintah Nederland Nieuw Guinea masih belum berani menempatkan pos militer atau kontrolirnya disana.

Namun, yang perlu mendapat apresiasi adalah bahwa semangat nasionalisme dan kecintaan terhadap Simbol dan Lambang Negara serta Proklamator RI itu sangat tinggi dan hampir merata di Ayamaru. Itu menunjukkan, bahwa sejak dulu mereka sudah mencintai NKRI, bahkan sebelum secara definitif terbentuk.

Kisah keberadaan Burung Elang Raksasa yang merepresentasikan Burung Garuda, warna Merah Putih sebagai perwujudan bendera Negara serta sosok Bung Karno yang diyakini pernah berada di Ayamaru untuk beberapa saat, menjadi bukti bahwa secara umum, masyarakat di Ayamaru memiliki kecintaan terhadap NKRI. (**)

REFERENSI

1. Buku, Laporan Resmi dan Makalah
• BARNET, H.G., Peace and Progress in New Guinea (paper was read at the meeting of the Southwestern Anthropological Society and Wenner-Gren Conference, held at the Universityof California, Los Angeles, in April, 1959), University of Oregon, 1959.
• BODEGOM, J. van, resident van West Nieuw Guinea. Citaat uit het bestuursverslag Mei 1961, betreffende Ajamaroe. 1 blz. (D730)
• BOOLAN, H., Beschouwing over de magie, naar aanleiding van een patrouilleverslag van 15-26 Juni 1956 en één daarop aansluitend rapport van de Hoofdagent van Politie II, Commandant van Ajamaroe. 6 blz. (D673) [1956]
• GALIS, dr. K.W. Nota inzake het Ajamaroe-gebied (nota van het Kantoor voor Bevolkingszaken no. 66), z.j. (ca. 1953). Gestencild, 85 blz met bijlagen en kaarten (D932)
• HAAN, J.H. de. Memorandum: Landelijke ontwikkeling in Nieuw-Guinea in het bijzonder in Ajamaroe. Hollandia, 7 blz. (D120) 7 Januari 1956.
• HOFMAN, Ir. M.F., Kantoor voor Bevolkingszaken (?). Welvaartsonderzoek Ajamaroe. Verslag van de bespreking op dinsdag (Onvolledig). 11 blz. (D329) 11 Oktober 1955.
• HOFMAN, Ir. M.F., Kantoor voor Bevolkingszaken. Notities betreffende Ajamaroe e.o. naar aanleiding van een schrijven van de Resident van West Nieuw Guinea dd. 28 Februari 1956, nr. I/1/GB 1513. 3 blz. (D671) [1956]
• LAGERBERG, C.S.I.J., Jaren van Reconstructie Nieuw Guinea van 1949 tot 1961. Zuid-Nederlandsche Drukkerij N.V., ‘S-Hertogenbosch, 1962.
• LAPRE, Mr. M., Adspirant Controleur t/b te Ajamaroe. Tourneeverslag over de periode 18 blz. (D444) 8-28 November 1955.
• LAPRE, Mr. M., Adspirant Controleur t/b te Ajamaroe. Tourneeverslag over de periode 16 blz., krt. (D443) 15-27 Februari 1956.
• MARCUS, R.F.H. te Ajamaroe. Brief dd. 5 Mei 1953 aan het Hoofd Onderafdeling A.O. te Hollandia, betreffende: Ongeoorloofd schoolverzuim. 2 blz. (D455)
• NINHUIS, P., Inventaris van het archief van het Kantoor voor Bevolkingszaken in Nederlands Nieuw-Guinea: Rapportenarchief (1852) 1951-1962 Versie: 24-03-2022., Nationaal Archief, Den Haag, 1968.
• REYNDERS, Ir. J.J. en RAZOUX SCHULTZ, F.H.N., Agrarisch Proefstation, Hollandia. Verslag van een bodemkundige verkenning in het Ajamaroegebied. 50 blz., foto’s, krtn. (E594) 18 April – 22 Juni 1957.
• TIMMER, J., A Bibliographic Essay on the Southwestern Kepala Burung (Bird’s Head, Doberai) of Papua. State, Society and Governance in Melanesia Project / Department of Anthropology Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, August 2022.

Maybrat (Papua Barat), 13 Juni 2022

Tim Penyusun Jejak Sejarah
Bung Karno di Ayamaru, Kab. Maybrat

1. Letkol. Mustagfirin, S.Ag., M.Sc.
2. Letkol. Harry Ismail, S.I.P.
3. Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan

Komentar