MERAUKE, – Bupati Merauke, Romanus Mbaraka sebagai Bapak pendidikan di Kabupaten Merauke bersama DPRD Merauke yang memiliki tanggungjawab representatif kepada masyarakat diharapkan bisa memecahkan masalah pendidikan Orang Asli Papua (OAP) khususnya orang Marind yang putus sekolah dengan pendidikan inklusif.
Hal itu disampaikan Kepala SMA Negeri 1 Merauke yang juga penggagas sekolah Inklusif, Sergius Womsiwor kepada wartawan diruang kerjanya, Senin (9/8/21). Dikatakan olehnya bahwa perkembangan pendidikan di Merauke merupakan tanggungjawab bersama.
Dia menemukan bahwa angka putus sekolah didominasi OAP khususnya suku Marind di kampung-kampung dan masih banyak masyarakat lokal yang belum mendapatkan pendidikan.
“Saya punya mimpi, anak-anak tidak hanya lulus SMA. Kalau bisa kita dorong sampai perguruan tinggi. Ini dibutuhkan komitmen kepala daerah dan legislatif,” tutur Sergius.
Menurutnya, pejabat elit di Merauke harus berani mengambil langkah terobosan untuk masyarakat lokal. Tak disangka, ada seorang kapolsek di Merauke justru turun tangan memperjuangkan pendidikan orang Papua.
“Menginspirasi kita semua. Permasalahan pendidikan orang papua yang terjadi hari ini diperjuangkan oleh Kapolsek Bupul, Ipda Aris Untung. Sumbangsih beliau membantu pelayanan, pikiran, menyerahkan papan tulis, buku tulis dan segala keperluan di Kampung Baad dan lainnya. Beliau yang membiayai dan menawarkan jadi donatur,” ungkap Sergius Womsiwor.
Mantan Kepsek SMP dan SMA Satu Atap Wasur ini merasa pekerjaan mewadahi sebanyak 40-an anak asli Papua di Kampung Baad dan sekitar yang mendaftar di pendidikan inklusif tersebut cukup berat, karena butuh waktu dan sarana pendukung serta pembiayaan yang memadai secara pribadi maupun pemerintah.
Pendidikan inklusif yang diberikan tak cukup hanya sekali dalam seminggu tatap muka karena anak-anak Marind putus sekolah dikampung banyak yang bermasalah di jenjang SD dan SMP terutama masih kesulitan membaca, menulis dan berhitung (calistung).
Selain itu, anak Papua Kampung Baad yang hendak masuk SMP Wayau mengalami keterbatasan seragam sekolah. Oleh karenanya, strategis dalam rangka peningkatan kompetensi keterampilan kecakapan hidup melalui pendidikan inklusif dan vokasi demi kemajuan SDM Papua itu perlu mendapat perhatian Pemda melalui OPD yang menangani dana kampung.
“Pemda melalui OPD coba diskusikan dana kampung sebagian bisa digeser untuk membiayai anak yang butuh sekolah di kampung. Dimasukkan dalam APBK. Saya pikir, DPRD Merauke juga kedepan bisa meluangkan waktu duduk diskusi mengundang semua pemangku kepentingan seperti Dinsos, Badan Pemberdayaan perempuan, dinas pendidikan membahas kehidupan masyarakat dalam hal ini peserta didik. Selain anak Papua bisa makan minum, kelanjutannya bisa mengenyam pendidikan,” ujar Sergius.
Sejak 24 April 2021 lalu, mendapatkan SK dari Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Papua bahwa SMAN 1 Merauke sebagai penyelenggara pendidikan inklusif. Sergius sedang mencari pola yang tepat, ketika menugaskan guru ke kampung-kampung tentu harus diberikan operasionalnya. Pria berdarah Biak ini yakin bisa memanaj suatu pola pelayanan komprehensif yang terintegrasi dengan manajemen SMANSA layanan inklusif dan didorong menjadi asrama.
Bahkan, perjuangan Kapolsek Bupul Ipda Aris Untung telah memotivasi Kapolsek Kurik dan Ketua KPU Merauke mendorong pendidikan inklusif yang kini sudah ada ditujuh titik. Menyelamatkan generasi emas Papua dari anak-anak pecandu lem aibon, pemulung jalanan dan anak putus sekolah.
“Saya sampaikan terima kasih kepada Kapolres Merauke AKBP Untung Sangaji. Beliau punya gaya kerja berpengaruh secara psikologis kepada seorang Aris Untung di wilayah hukum Polsek Bupul dan anggota lainnya,” demikian pungkas Sergius. (Hida)
Komentar