RAJA AMPAT, PBD – Jauh dari gemerlap kota dan hiruk-pikuk digital, sekelompok anak muda lintas negara memilih menjejak tanah sunyi kampung Audam, Distrik Misool Timur. Mereka menempuh perjalanan laut 10 jam dengan kapal perintis Terubuk, dilanjutkan perahu bodi besar di bawah cuaca yang berubah sekencang ombak yang memukul lambung kapal.
Sahabat Papua digerakkan oleh enam relawan yang datang dari berbagai latar belakang yaitu:
- Mega Zulaila Dinni : Pendidik
- MudaMohamad Desgia – Penerima Beasiswa LPDP dan Presiden LUnA (LPDP Unimelb Student Association)
- Ghaida Roshuna – Pendiri Wonderchild Learning Center dan praktisi STEAM
- Sabrina Alifia Maulani – Alumni Medipol University
- Ayman Musyaffa – Alumni Istanbul University
- Rais Aqmaril Abdurrasyid – Alumni Istanbul University
Disambut warga Audam, sebuah kampung yang baru berdiri 13 tahun lalu yang dihuni 80 penduduk.
Di Audam, kemewahan tidak didefinisikan oleh bangunan tinggi atau jaringan internet cepat melainkan sesederhana listrik yang menyala.
“Listrik di sana hanya mengandalkan matahari. Malam hari kampung senyap total,” ujar Desgia, menggambarkan minimnya ruang belajar akibat keterbatasan cahaya, koneksi internet, hingga sarana sekolah.
Selain itu, kampung Audam sebelumnya tak masuk dalam peta google maps. Beruntung ada Ayman yang dapat memetakan kampung Audam ini agar terbaca di Google Maps.

Sekolah dasar di Audam hanya memfasilitasi kelas 1 hingga 3. Untuk kelas 4, 5, dan 6, anak-anak harus menyeberang ke Kampung Limalas menggunakan perahu sekitar 30 menit. Spidol, buku, dan penghapus dikirim setahun sekali, menunggu rombongan kapal berikutnya datang.
“Gaji guru 200 ribu rupiah, bahkan ada yang 6–8 bulan belum terbayar. Tapi mereka tetap mengajar,” kata Mega, sambil matanya berkaca.
Dibalik keterbatasan itu, mimpi tetap tumbuh tinggi. Anak-anak Audam ingin sekolah hingga luar negeri, seperti senior mereka bahkan ada yang bercita-cita menjadi dokter dan tentara.
Ghaida selaku praktisi STEAM memperkenalkan STEAM yang tidak bergantung perangkat mahal.
“STEAM tidak harus canggih. Kami ajak anak-anak membuat alat dari sampah botol, ember bekas, plastik, karet, dan yang ada disekitar mereka” katanya.
Dari barang sederhana, mereka mempraktikkan konsep fisika, tekanan udara, fluida, hingga fenomena awan dan badai.
Anak-anak membuat fortex cannon versi mini, menyaksikan bagaimana udara membentuk pola karena tekanan. Teori dan praktik menyatu dalam tawa.
“Di Papua, STEAM bisa jadi jalan memecahkan masalah pendidikan, bukan sekadar pelajaran,” tambahnya.
Usai mengajar, Rais tak pulang beristirahat. Ia ikut warga menjaring ikan, panjat kelapa, jerat babi, menyusuri rawa mencari kangkung, hingga berburu hiu.
“Kami pikir kami yang mengajar mereka ternyata kamilah yang belajar dari mereka. Tak hanya datang memberi, tapi juga belajar dari cara hidup mereka. Panas, hujan, basah, lelah semua terbayar oleh tawa mereka,” ujarnya.
Ia terkejut menemukan ketangguhan anak-anak yang berjalan jauh demi sekolah, menunda makan demi membeli buku, bahkan ada anak 15 tahun yang terhenti di kelas 3 SD karena tak punya perahu melanjutkan sekolah di kampung seberang.
“Namun mereka cerdas, antusias, dan selalu minta buku lagi,” katanya.
Relawan sepakat bahwa mereka bukan pahlawan penyelamat, tetapi penggerak kesadaran.
“Kami meyakini bahwa perubahan harus lahir dari masyarakat sebagai aktor utama, bukan sebagai penerima pasif bantuan.” jelas Desgia.
Mereka berencana membangun kios kampung agar Audam mandiri, tak terus bergantung pada bantuan.
Mega menambahkan, mereka ingin pemerintah mendengar.
“Ada guru, ada anak-anak, ada mimpi. Mereka perlu kanal yang transparan.” harapnya.
Di penghujung pengabdian, Mega menyampaikan harapan agar gerakan ini berlanjut.
“Kami ingin mengajak influencer, diaspora muda, siapa pun yang punya empati untuk melihat Audam sebagai bagian dari NKRI yang berhak tumbuh.” ujar Mega
Sementara Sabrina, menyampaikan bahwa keindahan Raja Ampat yang mendunia harus terus dijaga kelestariannya. Sehingga salah satu misi Sahabat Papua untuk mengajak generasi muda kampung Audam untuk terus menjaga lingkungan.
“Salah satu awareness kita adalah mengajak anak-anak disana untuk menjaga kampung mereka, jangan mudah tergiur, diimingi-imingi menjual lahan untuk kepentingan sesaat. Hal ini bukan hanya lisan kami sampaikan, tapi juga buat drama, menjaga alam untuk masa depan dengan menggabungkan narasi dengan metode STEAM,” terang Sabrina.

Dalam 9 hari pengabdian, Audam tak hanya menorehkan cerita ketahanan, tetapi juga perjumpaan antara mereka yang datang membawa pengetahuan, dan mereka yang menyambut dengan ketulusan.
Mereka pun berterima kasih kepada Mario salah satu anak Misool rekan mereka yang telah merekomendasikan kampungnya untuk menjadi proyek pertama Sahabat Papua. Mei, adik Mario guru TK yang harus melepas mimpinya untuk melanjutkan studi di luar negeri demi mengabdi di TK kampung Audam, serta Bunda Sabrina dan para donatur yang telah mendukung Sahabat Papua untuk berbagi di kampung Audam. Team relawan juga berterima kasih kepada para guru dan relawan dari kampung audam yang turut serta membantu dan membersamai program sahabat papua.
Di kampung yang lampunya tak selalu menyala, justru harapan tumbuh paling terang. Di kampung yang tak tercatat di Maps, justru menorehkan ada semangat juang. Sahabat Papua akan kembali menorehkan jejaknya di kampung-kampung lainnya di Papua. (olha)













Komentar