MANOKWARI, PAPUA BARAT — Setelah penetapan pasangan Abdul Faris Umlati (AFU) dan Dr. Ir. Petrus Kasihiw, MT (ARUS) sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat Daya (PBD), pasangan calon lainnya yaitu Joppie Onesimus Wayangkau – Ibrahim Wugaje mengajukan gugatan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) PBD pada tanggal 22 Oktober 2024. Gugatan tersebut menyoroti dugaan keberpihakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) PBD terhadap pasangan ARUS.
Menanggapi hal ini, Yohanes Akwan, SH., MAP., Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti dalam keterangan pers yang diterima redaksi sorongnews.com, Jumat (4/10/24) menyebut langkah tersebut sebagai bentuk ketidakdewasaan dalam menerima hasil keputusan yang sudah final dan sah. Menurutnya, para penggugat seolah tidak siap menghadapi kekalahan dalam kontestasi politik.
“Fakta hukumnya sudah jelas, penetapan pasangan ARUS sebagai calon Gubernur Papua Barat Daya telah bersifat final. Pada saat penetapan tanggal 22 September 2024, tidak ada keberatan resmi yang diajukan oleh pihak manapun,” jelas Yohanes. “Proses pun berlanjut ke pencabutan nomor urut pada 23 September 2024, dan lagi-lagi tidak ada satupun pasangan calon yang mengajukan keberatan melalui berita acara. Ini artinya, keempat pasangan calon tersebut pada dasarnya sudah menerima keputusan itu.”
Yohanes menambahkan bahwa tindakan menggugat keputusan ini ke Bawaslu menunjukkan bahwa para penggugat tidak siap menghadapi hasil kontestasi politik yang tidak sesuai harapan mereka. Ia mengingatkan bahwa dalam prinsip demokrasi, setiap peserta harus siap menang dan siap kalah.
“Kalau hari ini mereka mengajukan gugatan, ini artinya mereka belum siap menang dan belum siap kalah. Jadilah petarung sejati yang menghormati proses hukum, bukan petarung yang mencari celah untuk menjatuhkan lawan secara tidak elegan,” tegas Yohanes.
Lebih lanjut, Yohanes menyinggung soal alasan utama di balik gugatan ini, yakni terkait dengan status keaslian pasangan ARUS sebagai orang asli Papua. Sebelumnya, Majelis Rakyat Papua Barat Daya (MRP-PBD) pada tanggal 6 September 2024 menyatakan tidak mengakui status keaslian Abdul Faris Umlati sebagai orang asli Papua. Namun, Yohanes mengingatkan bahwa rekomendasi dari Majelis Rakyat Papua Barat (MRP) pada tahun 2018 telah menetapkan bahwa Abdul Faris Umlati adalah orang asli Papua.
“Surat dari MRP Papua Barat pada tahun 2018 tersebut sudah jelas menyatakan bahwa Abdul Faris Umlati adalah orang asli Papua, dan ini yang menjadi dasar kuat bagi KPU untuk menetapkan beliau sebagai calon,” kata Yohanes. “Menolak keabsahan status keaslian mereka sama saja menolak kemanusiaan itu sendiri. Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga soal martabat.”
Yohanes juga menyoroti bagaimana tindakan ini dapat memicu diskriminasi terhadap perempuan Papua. Ia menjelaskan bahwa Abdul Faris Umlati dan Dr. Ir. Petrus Kasihiw, MT, yang merupakan putra asli Papua, lahir dari rahim perempuan Papua. Dengan tidak mengakui keaslian mereka, sama saja dengan menolak peran dan martabat perempuan Papua dalam membangun bangsa.
“Kalau kita menolak keaslian mereka, kita sedang menolak kemanusiaan dan mengabaikan peran perempuan Papua yang melahirkan generasi penerus. Jangan sampai hanya karena urusan politik, kita menodai nilai-nilai kemanusiaan,” ujar Yohanes tegas.
Ia pun menyerukan kepada perempuan Papua untuk bersatu melawan upaya-upaya yang merendahkan martabat mereka. “Perempuan Papua adalah ibu dari tanah ini. Mereka tidak boleh dinomorduakan. Tanpa perempuan, tidak ada kehidupan. Jadi, mari kita hormati dan jaga martabat perempuan Papua,” tandasnya.
Pada akhir wawancara, Yohanes mengajak semua pihak untuk menghormati proses hukum dan menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Menurutnya, politik harusnya menjadi ajang pertarungan gagasan dan bukan alat untuk menciptakan ketidakadilan bagi siapapun, termasuk anak-anak dari perempuan Papua yang telah memberikan kehidupan bagi tanah Papua.
“Jangan diskriminasikan mereka hanya karena alasan politik. Setiap orang berhak dihormati dan diakui haknya sebagai bagian dari tanah Papua,” tutup Yohanes.
Gugatan yang dilayangkan oleh empat pasangan calon ini menunjukkan bahwa pemilihan kepala daerah Papua Barat Daya masih menyisakan banyak ketegangan. Meski demikian, YLBH Sisar Matiti berharap agar semua pihak dapat menahan diri dan mengikuti proses hukum yang berlaku dengan baik.
Komentar