SORONG, PBD – Di RT 03 RW 05 Kompleks Bersama, suara langkah kaki dan deru aktivitas warga nyaris tak pernah berhenti. Di wilayah yang menjadi salah satu pemukiman terpadat di Kota Sorong ini, kehidupan berjalan dengan segala keterbatasan, air bersih yang bergantung pada jatuhnya air hujan, bantuan sosial yang tak merata, hingga identitas kependudukan yang belum dimiliki sebagian besar penduduk.
“Pemerintah harus datang dan melihat langsung, bagaimana kami di sini hidup. Kami juga ingin hidup layak, seperti warga lain,” kata Annis Van Tattuhey, Ketua RT 03 RW 05, saat ditemui di sela-sela kegiatan warganya belum lama ini.
Di wilayah kecil yang sempit ini, 752 kepala keluarga tinggal berdampingan. Bangunan pasar yang terbengkalai dijadikan tempat tinggal berdindingkan tripleks. Satu rumah bisa dihuni hingga 10 orang. Mayoritas dari mereka adalah buruh lepas yang bekerja di pelabuhan atau proyek bangunan, hidup dari hari ke hari tanpa penghasilan tetap.
Di tengah keterbatasan infrastruktur, air bersih menjadi kebutuhan paling mendesak. Sebagian warga berharap pada hujan yang turun dari langit. Bagi lainnya, ada satu titik yang menjadi penyelamat sumur tua yang terletak di depan SMA Negeri 3.
Di sana, warga antre membawa ember, jeriken, dan botol air untuk mengangkut pulang pasokan air bersih. Sumur itu telah menjadi pusat aktivitas warga tempat mencuci, mandi, hingga berbagi cerita.
Jamal, ayah dua anak, menjadikan sumur itu sebagai sumber penghidupan. Ia menjual air bersih keliling dengan gerobak berisi 10 jeriken. Harga satu gerobak bervariasi, antara Rp30.000 hingga Rp50.000, tergantung jarak pengantaran.
“Airnya bersih dan terus keluar, kami ambil dari sana. Sudah lama warga pakai itu. Kalau tidak, ya terpaksa tunggu hujan turun,” jelas Jamal sambil menyeka keringat di pelipisnya.
Ketua RT Annis mengakui, padatnya penduduk membawa persoalan kompleks. Gesekan antar masyarakat kerap terjadi karena lingkungan yang sempit dan interaksi yang intens. Lebih sulit lagi, banyak warga yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan tidak terdata secara resmi.
“Status mereka tidak jelas, keluar masuk tanpa aturan. Ini yang bikin repot saat pendataan bantuan. Warga padat, tapi banyak yang tidak kebagian,” katanya.
Dari ratusan keluarga, hanya 5 sampai 10 KK yang rutin menerima bantuan sosial. Sisanya? Hanya bisa menunggu dan berharap masuk dalam daftar berikutnya. Situasi ini memicu kecemburuan dan konflik sosial, yang bagi Annis seharusnya bisa dicegah jika data kependudukan diperbaiki.
Annis tak menuntut hal besar. Ia hanya ingin sentuhan kecil dari pemerintah yang benar-benar menyentuh warganya. Ia juga mengajak para pemuda dan tokoh lingkungan untuk lebih aktif membantu menjaga ketertiban dan kebersihan.
“Mari kita jaga Kota Sorong ini bersama, supaya tetap nyaman, damai, tertib, dan bersih. Pemuda harus jeli bantu RT. Ini tugas kita semua, bukan hanya pemerintah,” tegasnya.
Meski hidup di tengah keterbatasan, warga RT 03 RW 05 tetap bertahan. Mereka menaruh harapan pada sumur tua, pada langit yang mendung, dan pada perhatian yang semoga segera datang dari pemerintah.
RT 03 RW 05 Kompleks Bersama merupakan salah satu wilayah dengan jumlah kepala keluarga terbanyak di Kota Sorong. Masalah kependudukan, infrastruktur dasar, dan distribusi bantuan sosial menjadi isu utama yang dihadapi warganya setiap hari.
Mereka berharap ada perhatian dari pemerintah khususnya pada provinsi baru Papua Barat Daya dan kepemimpinan baru Wali Kota dan Wakil Wali Kota Sorong. (Oke)
Komentar