SORONG, PBD – Tahun Ajaran Baru adalah saat penuh suka cita bagi anak-anak yang baru mendaftar sekolah dasar dan menengah. Tahun penuh semangat karena libur telah usai dan anak-anak kembali bertemu dengan teman-temanya.
Para siswa baru mengenakan baju seragam baru, sepatu baru, tas baru, dan berbagai peralatan sekolah lain yang serba baru. Suka cita juga tergambar di wajah para orang tua yang mengantar anak-anaknya ke sekolah. Penuh harapan melihat anak-anak menyongsong masa depan lebih baik dari pada orang tuanya.
Namun tidak demikian dengan anak-anak yang berkekurangan, lebih, khusus anak-anak Papua dari keluarga tidak mampu. Para orang tua setengah mati mengumpulkan uang untuk membayar biaya pendaftaran sekolah yang cukup tinggi.
Sementara untuk makan sehari-hari saja mereka kesulitan. Apalagi membeli tas baru, sepatu baru, dan alat-alat tulis yang jika ditotal nilainya ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Masih beruntung jika biaya-biaya ini bisa diangsur. Jika tidak maka anak-anak ini bisa gagal masuk sekolah.
“Kami bertemu dengan anak-anak ini. Yang harus memakai baju seragam dan sepatu bekas, membawa tas yang kusam, dan alat tulis seadanya. Ada beberapa anak yang tidak bisa membayar uang seragam, sehingga tak mendapatkan baju batik dan olah raga,” ujar Nova Sro’er salah satu tim solidaritas peduli pendidikan untuk anak Papua melalui pesan tertulisnya kepada sorongnews.com Rabu (6/9/23).
Nova sro’er didampingi Yuni Atty Rifuriany menambahkan, ada anak yang harus bertahan di kelas lama karena tidak bisa mengambil raportnya yang ditahan akibat belum melunasi SPP. Sementara adiknya sulit mendaftar kelas 1 di sekolah yang sama karena sang kakak belum melunasi SPP.
Masalah-masalah ini menjadi beban tersendiri bagi anak-anak, seringkali malu dan tak lagi semangat ke sekolah. Beberapa anak memutuskan benar-benar tidak ke sekolah lagi alias putus sekolah.
“Sungguh ironis, karena dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasar 31 Ayat (2) tertulis “Setiap Warga Negara Wajib Mengikuti Pendidikan Dasar dan Pemerintah Wajib Membiayai”. Selain itu Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa pendidikan adalah Hak Asasi Anak. Artinya jika anak tidak sekolah di usia 7 sampai 18 tahun, maka telah terjadi pelanggaran HAM dan Negara tidak memenuhi kewajibannya,” imbuhnya.
Di sisi lain ada alokasi Dana Otsus Papua 30% untuk pendidikan. Sementara anak-anak Papua sampai saat ini masih saja susah sekolah.
“Situasi ini membuat kami yang tergabung dalam Solidaritas untuk pendidikan anak Papua sangat prihatin, karena mereka adalah masa depan Tanah Papua. Untuk membantu meringankan beban anak-anak dan keluarga mereka, hari ini kami melaksanakan Aksi Penggalangan Dana dengan judul Aksi 1.000 Untuk Pendidikan Anak Papua. Dimana terdata oleh kami ada 126 anak di 3 area Kota Sorong, membutuhkan bantuan untuk tetap sekolah,”tegas Nova.
Kegiatan ini yang dilaksanakan pada hari Rabu, 6 September 2023, mulai jam 09.00 WIT sampai selesai di perempatan jalan lampu merah Maranatha Kota Sorong terlihat warga antusias memberikan bantuannya.
Adapun tujuan dari aksi 1.000 untuk pendidikan anak Papua adalah:
1. Mengumpulkan dana atau sumbangan dalam bentuk lain seperti seragam, buku, alat tulis, sepatu, tas sekolah, buku bacaan anak, dan peralatan sekolah lainnya. Sumbangan tersebut akan kami salurkan kepada anak-anak kurang mampu yang membutuhkan (telah kami data di 3 area di Kota Sorong)
2. Menyuarakan aspirasi masyarakat yang selama ini kesulitan memenuhi kebutuhan terkait pendidikan dasar anak-anaknya.
3. Meminta perhatian Pemerintah Kota Sorong agar menjadikan pendidikan anak papua sebagai program prioritas, khususnya pendidikan anak-anak Papua yang kurang mampu. (*/Oke)
Komentar