Mengenal Sosok Polisi: Ipda La Udin, 19 Tahun Nikmati Tugas Polisi di Lembah Moskona

BINTUNI, PAPUA BARAT – Mengalami Hancurnya Jalanan, Sungai Tanpa Jembatan dan Tanpa Penerangan Listrik Memadai di Distrik Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni

“Kekurangan sarana-sarana perhubungan yang nyata (memang ada pesawat-pesawat terbang, tetapi tidak ada jalan-jalan) membuat komunikasi daerah-daerah pesisir dengan daerah-daerah pedalaman menjadi sulit dan mahal. Isolasi ini belum didobrak secara definitif. Hidup di daerah pedalaman sudah sulit bagi orang-orang dari daerah lain di Irian yang lain, apalagi bagi orang-orang dari pulau yang lain. Hal itu memang dan tetap merupakan suatu tugas yang besar bagi mereka, yang toh mau memikirkannya, dapat dipandang sebagai suatu beban tersendiri.”

PERTEMUAN PERDANA DI DISTRIK MOSWAREN KABUPATEN SORONG SELATAN
Ruangan rumah petak itu berukuran lumayan kecil. Aslinya, rumah itu terdiri dari tiga bagian. Satu bagian untuk Kantor Urusan Agama (KUA) Distrik Moswaren. Satu bagian lainnya masih kosong. Sedangkan bagian paling ujung sudah ditempati. Pada rumah petak yang arah ke Teminabuan itulah, Kepala Polisi Sub Sektor (Polsubsektor) Moswaren, Polres Sorong Selatan, tinggal.

Rumah kontrakan ini memiliki beberapa kamar. Lokasinya hanya sekitar satu kilometer saja dari Markas Polsubsektor Moswaren. Persisnya, rumah itu berada di kawasan SP II Moswaren. SP adalah kependekan dari Satuan Pemukiman, yaitu lokasi transmigrasi yang diprogramkan oleh pemerintah.

Untuk di Papua Barat, memang ada beberapa lokasi transmigrasi. Di antaranya di Aimas, Kabupaten  Sorong, di Distrik Warmare, Distrik Prafi, Distrik Masni dan Distrik Sidey (Warpramassi), Kabupaten  Manokwari; di Distrik Oransbari, Kabupaten Manokwari Selatan; di SP 1-5 Distrik Bintuni Timur dan di Steenkool Distrik Tembuni, Kab. Teluk Bintuni.

Prof. Jaab Timer menuliskan dalam makalahnya, A Bibliographic Essay on the Southwestern Kepala Burung (Bird’s Head, Doberay) of Papua, “Just outside the Teminabuan sub-district, in the sub-district of Aitinyo there is a so-called transmigration site in Moswaren where around two hundred Javanese attempt to make a living.”

Setelah Penulis uluk salam di depan pintu rumah petak itu, sesosok laki-laki pun keluar dan mempersilakan masuk. Dari arah dalam rumah, tampak sesosok perempuan berkerudung coklat berjalan mendekat. Keduanya tampak terlihat gembira, karena Penulis bisa sampai ke tempat mereka. Sosok laki-laki mengenakan kaus coklat khas Polisi tersebut tidak lain adalah IPDA La Udin, sedangkan perempuan itu adalah istrinya, Ny. Amanah.

Perbincangan selama hampir satu jam itupun berlangsung dalam suasana terik. Oleh sebab itu, air putih dingin dan buah semangka pun menjadi pendamping selama perbincangan. Inilah pertemuan perdana antara Penulis dengan sosok polisi yang ternyata hampir 20 tahun pernah ditugaskan di pedalaman Lembah Moskona, Distrik Merdey. Pertemuan itu terjadi karena dilambari pertemuan Penulis dengan istrinya saat di ruang tunggu bandara Rendani, Manokwari.

PENERBANGAN MENDEBARKAN KE DISTRIK TEMINABUAN KABUPATEN SORONG SELATAN
Pesawat Cessna Grand Caravan itu tinggal landas meninggalkan Bandara Rendani menuju Distrik Teminabuan, Kab. Sorong Selatan (kini, Provinsi Papua Barat Daya). Tampak di dalam pesawat single-otter itu hanya ada beberapa penumpang. Selain 2 pilot dan co-pilot berkebangsaan asing, lainnya adalah penumpang pribumi: orang asli Papua dan pendatang.
Pesawat yang dioperatori oleh maskapai Susi Air milik mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu terbang menyusuri pesisir pantai Manokwari menuju Arfai dan melintas di atas kawasan Arfai 2. Tampak Perumahan Arfai Indah Permai terlihat di bawah. Pesawat ini mengarah ke kawasan Satuan Pemukiman dan melintasi Gunung Belanga di Distrik Sidey tembus ke Kebar dan berbelok ke arah Danau Ayamaru.

Saat melintas di kawasan Danau Ayamaru, kabut dan angin kencang menghadang di depan. Dengan sigap pilot berkebangsaan asing itu menghindari awan dan angin kencang tersebut. Beberapa kali pesawat melakukan manuver udara, dengan berbelok ke kanan, ke kiri, naik ke atas dan turun ke bawah. Selama beberapa menit, perasaan penumpang pun terombang-ambing dalam kecemasan.
“Pada bulan-bulan Oktober hingga Desember, banyak orang yang naik pesawat kecil. Selain anginnya kencang, juga awan pekat biasanya menghadang,” ujar salah seorang penumpang.

Pemuda bermarga Kolinggea asal Teminabuan itu baru pertama kali naik pesawat perintis.

“Saya terpaksa naik pesawat ini karena besok akan ada Persekutuan Anak Muda (PAM) di GKI saya.”

Selain Kolinggea, di bangku tengah juga tampak sesosok perempuan berjilbab kuning. Posisinya persis di bangku banjar ketiga sebelah kanan. Dalam perkenalan di ruang tunggu Gate 1 sesaat sebelum terbang, perempuan muslimah asal Salatiga Jawa Tengah itu mengaku ada kepentingan mendadak ke Sorong Selatan. “Suami saya ditugaskan di Distrik Moswaren,” ujarnya.

Setelah melewati Danau Ayamaru, pesawat pun belok ke kiri dan lurus menuju Teminabuan. Di bawah sana mulai terlihat aliran sungai besar bak ular yang sedang meliukkan badan. Setelah berputar satu kali, pesawat pun mengarah ke landasan (airstrip) yang sudah terlihat di depan. Bandara Teminabuan memiliki panjang hanya beberapa ratus meter saja. Posisinya persis di pinggir jalan raya, sebelah Taman Trinati, Teminabuan.

SAMA-SAMA MEMILIKI IKATAN DENGAN KOTA SALATIGA, JAWA TENGAH
Setelah kembali ke Manokwari lagi, Penulis pun tetap berkomunikasi dengan keluarga Kapolsubsektor Moswaren tersebut. Bahkan, untuk semakin mempererat hubungan, saling kunjung-mengunjungi pun dilakukan. Penulis dan keluarga mengunjungi rumah pribadinya di Udapi, Inggramui, Distrik Manokwari Barat. sedangkan keluarga itu pun mengunjungi rumah Penulis di Arfai 2, Anday, Distrik Manokwari Selatan.

Karena Penulis pernah ditugaskan di Kota Salatiga (2003-2005), sedangkan istri Kapolsubsektor Moswaren itu juga berasal dari sana, maka nostalgia Kota Salatiga menjadi perekat hubungan dua keluarga. Makanan khas Salatiga, yaitu sayur tumpang dan rolade, menjadi perekat hubungan. Kedua keluarga itu akhirnya membuat rolade bersama-sama.

Apalagi setelah IPDA La Udin kemudian pindah tugas ke Polda Papua Barat lagi, beberapa kali pertemuan pun dilakukan di rumah pribadinya di Udapi, Inggramui. Pertemuan buka bersama Ramadhan dan Idul Fitri 1444 H pun dilakukan disana. Makanan khas Salatiga, yaitu sayur tumpang pun bisa dinikmati setelah 20 tahun berlalu.

Dari pertemuan itu juga mulai terungkap tanpa sengaja, bahwa IPDA La Udin pernah ditugaskan di Kabupaten Teluk Bintuni selama 19 tahun. Bahkan, di Negeri Sisar Matiti itu pulalah, IPDA La Udin bertemu dengan istrinya kini, Ny. Amanah.

“Saat itu istri saya bekerja sebagai bendahara di perusahaan kayu. Kebetulan saya sering melakukan pengamanan disana,” ungkap lelaki asal Buton kelahiran Ambon,

Maluku yang mengikuti pendidikan Polisi di SPN Jayapura tersebut.
Karena IPDA La Udin baru sekitar dua tahun menyelesaikan pendidikan perwira di Sekolah Pembentukan Perwira Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Setukpa Lemdiklat) POLRI di Sukabumi, dan kebetulan Penulis mengenal Kasetukpa Brigjen. Pol. Mardiaz Kusin Dwihananto, S.IK., M.Hum., maka Penulis pun menyampaikan kepada Kasetukpa, bahwa saat itu sedang berada  di rumah alumnus Setukpa asal Papua Barat.

19 TAHUN DITUGASKAN DI DISTRIK MERDEY KAB. TELUK BINTUNI
Distrik Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni pada tahun 2000-an tentulah belum sebaik dan sebagus seperti sekarang ini. Saat itu Teluk Bintuni masih berstatus sebuah Distrik dari Kab. Manokwari. Tentu saja sarana dan prasarana belum selengkap dan sebaik saat ini. Apalagi Merdey, saat itu baru sebatas Kampung. Membayangkan Merdey sekitar 20 tahun lalu, adalah seperti yang diungkapkan oleh Pater Dr. Jan Boelaars, M.S.C. seperti dikutip pada awal tulisan ini.

“Kekurangan sarana-sarana perhubungan yang nyata (memang ada pesawat-pesawat terbang, tetapi tidak ada jalan-jalan) membuat komunikasi daerah-daerah pesisir dengan daerah-daerah pedalaman menjadi sulit dan mahal. Isolasi ini belum didobrak secara definitif. Hidup di daerah pedalaman sudah sulit bagi orang-orang dari daerah lain di Irian yang lain, apalagi bagi orang-orang dari pulau yang lain. Hal itu memang dan tetap merupakan suatu tugas yang besar bagi mereka, yang toh mau memikirkannya, dapat dipandang sebagai suatu beban tersendiri.”

Selama 19 tahun bertugas di lokasi yang seolah terisolir dari dunia luar adalah sesuatu yang sangat membanggakan. Penulis sendiri telah sampai ke Lembah Moskona itu, khususnya di Distrik Merdey dan Distrik Biscoop, Kab. Teluk Bintuni. Meskipun telah berlalu 20 tahun lalu, kawasan ini masih sulit untuk dijangkau. Selain jalanan yang terkadang rusak parah, juga biaya kendaraan kesana terbilang mahal.
Apalagi, sampai setahun lalu, Kali Meyof yang menghubungkan kawasan luar dengan Distrik Merdey dan Distrik Biscoop belum memiliki jembatan. Satu-satunya sarana transportasi adalah dengan naik rakit yang tarifnya lumayan tinggi.

Memang betul, menurut Pater Jan, bahwa pesawat pun sudah melayani penerbangan ke Distrik Merdey dari Manokwari. Namun, bagi masyarakat biasa, tentu saja masih tidak terlalu penting keberadaannya.

Jalur transportasi darat memang kini sudah terhubung dari Kota Bintuni ke Distrik Merdey. Namun selepas dari Distrik Tembuni, jalanan menuju Distrik Merdey pun masih sulit dilalui. Jalanan milik perusahaan kayu itu belum diaspal, hanya menggunakan bebatuan (coral), sehingga untuk kendaraan roda kecil akan terasa kesulitan. Terbukti, bangkai sebuah sepeda motor masih teronggok di pinggir jalan arah ke Distrik Merdey. Seolah itu menjadi pengingat, bahwa motor matic ataupun berpersneling dengan roda kecil, tidak akan mampu lewat jalur itu.

“Dulu kami berhari-hari harus jalan kaki bila hendak turun ke Kota Bintuni. Terkadang kami menginap di suatu lokasi, sambil menunggu pagi. Tapi kini, kendaraan sudah bisa melintas dari sini ke Kota Bintuni,” ucap Kepala Distrik Merdey, Yustina Ogoney, saat penulis berada di Distrik Merdey selama empat malam.

“Meski perlu perjuangan, tetapi waktu tempuh kini menjadi berkurang. Kini hanya dengan dua-tiga jam saja sudah bisa tiba di Kota Bintuni. Tetapi, ongkosnya memang masih lumayan tinggi.”

Untuk penerangan listrik pun baru belakangan ini bisa dinikmati. Saat Penulis berada di Distrik Merdey, listrik hanya menyala pada malam hari alias 12 jam saja. Pada siang hari, listrik sama sekali tidak menyala. Terpaksa dicari alternatif lain, semisal panel surya atau menggunakan daya aki (accu). Bahkan, menurut info rekan guru yang pernah ditugaskan di Distrik Merdey, pada 2015 lalu, listrik dari jenset hanya menyala hingga pukul sembilan malam saja.

Udara dingin yang mencucuk tulang meski hari telah siang. Kabut tebal yang sering menghalangi pandangan, seolah menjadi hal biasa bagi warga pribumi di Distrik Merdey. Namun, tidak demikian halnya bagi pendatang atau orang yang baru pertama berada disana. Semua itu awalnya akan menjadi hambatan tinggal disana. Tidak terkecuali dengan IPDA La Udin saat masih ditugaskan di Distrik Merdey. Namun demikian, lelaki yang ramah dan murah senyum itu telah melewati waktu 19 tahun disana.
“Bilang saja nama saya bila ada di Merdey, pasti semua orang tahu,” tantang ayah dari beberapa putra dan putri tersebut.

Memang, siapa tidak kenal La Udin di Merdey. 19 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Itu artinya, hampir dua dasawarsa beliau berada di Lembah Moskona itu. Anak-anak yang lahir pada 19 tahun lalu, tentu kini telah menjadi remaja dan dewasa. Di antara mereka mungkin juga ada yang bercita-cita ingin menjadi polisi seperti La Udin. Semoga!

Dan benarlah apa yang telah ditulis 37 tahun lalu oleh Pater Dr. Jan Boelaars, M.S.C. seperti dikutip di atas, “Hal itu memang dan tetap merupakan suatu tugas yang besar bagi mereka, yang toh mau memikirkannya, dapat dipandang sebagai suatu beban tersendiri.” []

CATATAN:
Disusun oleh:
Rakeeman R.A.M. Jumaan*)

*) Penulis merupakan Ikon Prestasi Pancasila 2021 Katagori Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI Jakarta.

**) Selesai ditulis pada Kamis, 22 Juni 2023 pkl. 21:45 WIT di Arfai 2, Manokwari, Papua Barat. tulisan ini untuk menyongsong Hari Bhayangkara ke-77, 1 Juli 2023.

Komentar