Perspektif Hukum terhadap Penyebaran Video Asusila di Media Sosial: Antara Kebebasan Berekspresi dan Perlindungan Moral Publik *)

SORONG, PBD – Di era disrupsi seperti saat ini, media sosial menjadi ruang interaksi yang sangat luas, cepat dan bebas dalam menyampaikan ekspresi, perasaan dan opini pemiliknya.

Namun, di balik kebebasan muncul tantangan besar terkait etika, moralitas dan hukum, salah satunya adalah penyebaran konten asusila, khususnya video. Fenomena ini bukan hanya soal pelanggaran moral, tetapi juga melanggar hukum yang dapat menimbulkan konsekuensi pidana serius.

Penyebaran video asusila melalui media sosial kembali menjadi sorotan publik, dengan disebarnya tindakan asusila yang terjadi di Kota Sorong beberapa hari terakhir ini. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan krisis moral di ruang digital, tetapi juga dapat berujung pada sanksi hukum berat bagi pelakunya.

Dalam banyak warganet berdalih “hanya membagikan ulang”, padahal dalam hukum, tindakan tersebut sudah cukup untuk menimbulkan konsekuensi pidana.

Konten asusila dapat diartikan sebagai segala bentuk informasi visual, audio, atau audiovisual yang mengandung unsur pornografi atau melanggar kesusilaan, yang bertentangan dengan norma hukum dan sosial masyarakat Indonesia. Dalam konteks video, ini mencakup rekaman aktivitas seksual atau hal-hal yang berbau pornografi, baik yang dilakukan secara suka rela maupun tidak.

Landasan dan Ancaman Pidana Penyebaran video asusila diatur dalam beberapa regulasi utama di Indonesia, yaitu:

1. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Pasal 27 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana telah diubah oleh UU No. 19 Tahun 2016 pasal 45 ayat 1 menyatakan: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2. Undang-Undang Pornografi UU No. 44 Tahun 2008

Undang – undang ini mengatur lebih spesifik tentang larangan pembuatan, penyimpanan, dan penyebaran pornografi. Pasal 29 menyatakan bahwa: “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak,menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyakRp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”

3. Undang – Undang nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)

Undang-undang ini mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual melalui penyebaran konten pornografi. Pasal 14 ayat 1 poin a mengatakan : “Setiap Orang yang tanpa hak melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyakRp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Selain aspek hukum, penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa menyebarkan video asusila bukan hanya soal berbagi informasi, melainkan berpotensi mempermalukan, merusak nama baik, dan bahkan menghancurkan kehidupan korban. Hal ini mencederai prinsip penghormatan terhadap hak privasi dan martabat manusia. Apalagi ditambah komentar warganet yang mencoba menjatuhkan harkat martabat korban. Ibarat korban sudah tertimpa tangga, harus tertimpa kembali untuk kedua kalinya dengan cibiran warganet, korban yang kebanyakan adalah perempuan harus dihujat oleh sesama perempuan di ruang publik.

Kebebasan berekspresi di media sosial tidak boleh disalahgunakan untuk menyebarkan konten yang melanggar hukum dan etika. Negara hadir melalui regulasi untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif penyebaran konten asusila.

Masyarakat, baik orang dewasa maupun generasi muda, harus memahami bahwa satu kali klik bisa membawa konsekuensi hukum serius baik sebagai penyebar, pembuat, maupun pemilik akun yang menyebarkan ulang.

Bijaklah dalam bermedia sosial. Pikirkan sebelum membagikan. Penyebaran video asusila bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan tindakan pidana yang bisa berdampak serius. Masyarakat diimbau untuk bijak bermedia sosial dan menghindari perilaku digital yang dapat merugikan orang lain maupun diri sendiri.

“Ingat, satu klik bisa mengubah masa depan. Bijaklah sebelum membagikan konten apa pun di media sosial dan hukum tidak mengenal kata tidak tahu karena dengan kemudahan teknologi saat ini yang tidak tahu menjadi tahu”.

Sekali lagi, mari bijak bermedia sosial dalam menshare atau membagikan konten-konten yang sensitif. Cukup sampai dikita, jangan sampai disebar lagi. (*)

*) Ditulis oleh Pemimpin Redaksi sorongnews.com Olha Irianti Mulalinda, MH

Komentar