SORONG, PBD – Upaya perlindungan hak-hak masyarakat adat kembali digelorakan di tanah Papua. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Greenpeace dan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat Regional Papua menggelar Konsultasi Publik Masyarakat Adat yang berlangsung di salah satu hotel di Kota Sorong, Papua Barat Daya, Kamis (31/7/25).
Kegiatan ini menghadirkan sejumlah tokoh penting sebagai narasumber, antara lain Bupati Sorong Selatan Petronela Krenak, Bupati Sorong Johny Kamuru, akademisi Universitas Papua (UNIPA) Prof. Dr. Sepus M. Fatem, Deputi II Sekjen AMAN Erasmus Cahyadi, serta perwakilan dari Koalisi RUU Masyarakat Adat. Konsultasi publik ini dipandu oleh Direktur Advokasi AMAN, Muhammad Arman.
Deputi II Sekjen AMAN, Erasmus Cahyadi menekankan urgensi pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat sebagai bentuk koreksi terhadap sistem hukum nasional yang selama ini dianggap diskriminatif dan rumit bagi masyarakat adat.
“Meski sudah banyak regulasi, mengapa konflik masih terjadi? Karena karakter hukum kita masih sangat diskriminatif terhadap masyarakat adat,” ujar Erasmus Cahyadi.
Ia mengungkapkan bahwa selama satu dekade terakhir (hingga akhir 2024), setidaknya 11,8 juta hektare wilayah adat telah dirampas. Selain itu, lebih dari 300 masyarakat adat mengalami kriminalisasi karena memperjuangkan hak atas tanah mereka.
“Hukum kita menciptakan prosedur yang sangat kompleks, menyulitkan pengakuan masyarakat adat. Ini juga diperparah dengan kurangnya koordinasi antar-kementerian,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Erasmus menjelaskan bahwa sejak 2009, AMAN dan Koalisi telah menyusun naskah akademik dan draft RUU yang telah melalui proses konsultasi di tujuh region Indonesia.
Draft tersebut sempat diusulkan ke DPR oleh Fraksi PDIP, namun hingga kini masih berstatus sebagai RUU inisiatif DPR dan belum dibahas bersama pemerintah,” bebernya.
Sementara itu, Bupati Sorong Selatan, Petronela Krenak, menegaskan komitmen pemerintah daerah dalam melindungi hak-hak masyarakat adat serta memprioritaskan pendidikan anak-anak asli Papua (OAP). Diakuinya, sejak 2022, Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan telah menerbitkan Surat Keputusan Bupati untuk menetapkan wilayah-wilayah hutan adat di tiga distrik prioritas yakni Distrik Konda, Saifi, dan Salkma.
“Kegiatan masyarakat adat hari ini kami intervensi langsung. Ini jadi prioritas Pemkab Sorong Selatan,” kata Bupati Sorong Selatan Petronella Krenak.
Bupati perempuan pertama di Sorong Selatan ini menyampaikan bahwa pemerintah telah menyiapkan anggaran khusus untuk mendukung kegiatan adat dan pendidikan. Ia menargetkan agar setiap keluarga di Sorong Selatan memiliki minimal satu lulusan sarjana.
“Kami sudah bekerja sama dengan beberapa universitas dari masuk kuliah sampai lulus. Target kami, satu keluarga satu sarjana,” ungkapnya.
Petronela turut menyoroti konflik pengelolaan hutan yang telah berlangsung hampir satu dekade. Namun, menurutnya, Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan berhasil memediasi konflik tersebut baru-baru ini.
“Puji Tuhan, minggu lalu kami berhasil mediasi. Kontrak selesai, dan hutan dikembalikan ke masyarakat,” ucapnya.
Ia menekankan bahwa tantangan besar saat ini ada pada birokrasi dan minimnya kebijakan afirmatif bagi orang asli Papua dalam jabatan struktural dan akses pendidikan.
“Kebijakan nasional sering kali tidak sesuai konteks lokal Papua. Kami akan dorong RUU khusus agar tidak terus-menerus tertinggal,” tandasnya.
Kegiatan konsultasi publik ini menjadi bagian dari rangkaian panjang perjuangan masyarakat adat di Papua untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum yang setara. Selain sebagai ruang diskusi, forum ini juga menjadi upaya konkret untuk memperkuat posisi masyarakat adat dalam proses legislasi nasional.
Dengan suara-suara kuat dari AMAN, Greenpeace, akademisi hingga seluruh lapisan masyarakat adat harapan akan disahkannya RUU Masyarakat Adat sebagai undang-undang yang inklusif dan adil kini kembali bergema, khususnya dari tanah Papua. (Jharu)
Komentar