MENELISIK Pro, Kontra PT. Tambang Mas Sangihe*

Sangihe,- Pro dan kontra akan hadirnya PT.TMS semakin mencuat, baik respon secara lansung maupun cuitan sosial media.

Respon lansung mengalir deras dari golongan yang menolak akan hadirnya PT.TMS, upaya yang tak pernah memandang lelah selalu mereka lakukan mulai dari pembentukan basis, hingga persiapan pengajuan gugatan ke PTUN.

Mereka yang berada pada posisi Pro juga tidak tinggal diam, mereka selalu berupaya meyakinkan rakyat agar tanahnya mau dijual keperusahaan.

Dari hal diatas saya akan berusaha mengulas sedikit historis akan Pulau Sangihe yang memiliki kandungan Emas.

Para tetua Sangihe sudah lama mengetahui bahwa pulau Sangihe memiliki kekayaan Emas, sehingga mereka membuat satu kata yaitu “Rimpulraeng” yang artinnya “Tanah Emas”.

Penjelasan secara ilmiah kenapa para tetua Sangihe bisa mengetahui bahwa Sangihe memiliki kandungan Emas? Hal tersebut mereka dapatkan dari hasil Ekspansi kolonial Belanda selama 365 tahun yang lebih lama daripada umur Indonesia Merdeka.

Namun para tetua mengambil jalan untuk lebih menggunakan laut serta kulit tanah sebagai lahan bercocok tanam, ketimbang mengambil kandungan Emas yang mereka ketahui bisa merusak ruang hidup mereka.

Bukankah alasan utama karna para tetua dulu tak mengetahui akan proses pemurnian Emas?

Mungkin mereka tak mengetahui akan pemurnian Emas yang membutuhkan racikan kimia, namun di kepulauan Sangihe juga memiliki kandungan Emas yang tak membutuhkan racikan bahan kimia atau sering disebut Rakyat (Mas Lepas) yang berada di wilayah Manganitu Selatan.

Maka hal tersebut jelas menjawab bahwa mereka tak terlalu peduli dengan Emas, dan mereka lebih perduli dengan keseimbangan Alam sebagai ruang hidup utama.

Bagaimana dengan perekonomian mereka? Sekalipun tak mengambil kandungan Emas, dan bergantung hidup pada kulit tanah. Masyarakat Sangihe tak memiliki catatan sejarah Genosida akan kelaparan, mereka tetap bertahan hidup bahkan ada yang menyandang usia ratusan tahun.

Pro kontra akan hadirnya PT.TMS tak jauh berbeda dengan pola kaum kolonial yang serinf disebut dengan politik “Divide Id Impera” atau politik “Pecah belah”.

Dengan posisi masyarakat yang saling menyerang dan berusaha membenarkan akan pola fikir masing-masing, bisa mengeser rasa kekeluargaan yang sudah lama terbentuk dan melunturkan semangat kegotong-royongan.

Hadirnya PT.TMS tersinyalir juga bersifat cacat Hukum, sebab tak mendapat rekomendasi dari kementerian KKP yang terkait erat dengan Undang-Undang pengelolaan pesisir dan pulau-Pulau kecil atu lebih tepat UU no 1 tahun 2014.

Sekalipun demikian PT.TMS secara Sah telah mengantongi izin produksi, dan Negara bisa saja terjerat Denda akibat dari kerugian yang dialami perusahaan selama masa pengurusan izin.

Sulitnya dalam mengambil hipotesis dari masalah diatas, saya akan berusaha menjelaskan bahwa hadirnya Perusahaan belumlah tentu memberikan kesejahteraan terhadap rakyat bahkan tak sedikit daerah di Indonesia yang mengalami jurang ketimpangan sosial serta kerusakan lingkungan yang yak berkeseduhan ketika hadirnya perusahaan sebagai Contoh kasus adalah PT.Freeport merupakan perusahaan terbesar di Indonesia.

Posisi PT.TMS yang berada dekat dengan tepi pantai, serta ukuran pulau Sangihe yang terlalu kecil karna hanya memiliki luas kurang lebih 73.000 hektar selayaknya mendapat respon penolakan masyarakat lingkar Tambang.

Terkait akan denda yang nantinya mau diciptakan oleh pihak perusahaan sebenarnya bukan menjadi masalah yang mendasar, melainkan menjadi acuan buat rakyat mempertanyakan akan kerja dari pihak pemerintah.

Jika pemerintah benar-benar bekerja sesuai tupoksi dan prosedure sudah selayaknya untuk menolak dan tak memberikan izin akan eksploitasi pertambangan di kabupaten Kepulauan Sangihe.(Alpianus Tempongbuka )

*Penulis merupakan Ketua LMND SULUT

Komentar