Mama Papua Penjaga Mangrove Kampung Maibo

Penulis : Olha Irianti Mulalinda

“Kalau Mama-Mama yang bergerak ini cepat, anak-anak dan suami tinggal ikut. Saya selalu ingatkan kalau saat ini kita tanam, butuh waktu bertahun-tahun untuk dia (Mangrove) tumbuh besar dan kokoh. Jangan sampai anak cucu kita yang terima akibatnya, tidak bisa lagi makan Bia kodok atau rumah kita terbawa banjir karena sudah tidak ada lagi mangi-mangi yang menahan ombak,”

 

Pagi itu, usai sholat subuh Mama Marwah Simurut sudah bersiap-siap memasak. Ia akan membuat masakan Papeda yang akan disuguhkan kepada sejumlah Mama-Mama Papua lainnya di Balai Kampung Maibo Klalin Kabupaten Sorong, Papua Barat, Minggu (31/10/21).

Usai memasak, sejumlah Mama-mama satu persatu mulai berdatangan di Balai Kampung. Sebelum makan bersama, Mama Marwah mulai mengatakan bahwa mereka hari ini akan menanam sejumlah bibit mangrove di dekat kawasan tempat tinggal mereka.

“Seperti biasa, hari ini kita akan menanam Pohon Mangi-mangi (Mangrove). Nanti habis makan langsung turun kebawah (ke lokasi),” ujar Mama Marwah diikuti teriakan siap dari mama-mama lainnya.

Usai menyantap papeda kuah kuning, mama-mama dan sejumlah anak-anak pun ikut menanam bibit mangrove. Mereka satu per satu menanam bibit Mangrove di sejumlah lokasi yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Sebagai isteri dari Kepala Kampung, keberadaan Marwah sangat penting dalam menggerakan Mama-Mama Papua lainnya di kampung tersebut. Selain memiliki kebijakan secara teritorial, Marwah juga lebih banyak mendapatkan informasi terkini dari sang suami.

“Tidak semua mama-mama disini mau bergabung juga. Mereka lebih memilih bekerja membantu suami mencari Ikan, mencari Bia (sejenis kerang yang berada di hutan Mangrove), mencari kayu dan batu karang,” ujar isteri dari Sudin Simurut itu.

Ia menceritakan bahwa mayoritas penduduk di kampung Maibo bergantung pada hasil hutan Mangrove seperti mencari kepiting dan Bia Kodok serta menambang batu karang dari sisa tumbangnya pohon Mangrove. Sebagian warga lainnya pun, masih menggantungkan bahan bakar dapur serta untuk penghasilan dari kayu Mangi-Mangi (Mangrove).

“Kayu yang bagus dijual, sedangkan sisanya dibawa pulang untuk bahan bakar dirumah,” ujar Marwah.

Makan Papeda bersama menjadi salah satu cara komunikasi aktif warga untuk melakukan sesuatu tujuan/Oke

Warga kampung yang secara defenitif baru menetap di kampung tersebut pada tahun 2016, perlahan mulai merasakan bahwa pohon mangi-mangi mulai berkurang akibat ketergantungan warga pada hutan Mangrove, hingga kawasan ini oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dijadikan sebagai salah satu kawasan kritis di wilayah Papua Barat.

“Sekarang, meski masih banyak yang bergantung di hutan, Kami juga turut melestarikan hutan dengan menanam bibit-bibit Mangrove baru di lahan yang sudah rusak,” ujar Marwah.

Dia juga kerap memberikan nasehat kepada anak-anaknya bahwa saat ini Mama sudah menanam Mangi-Mangi buat nanti dijaga anak dan cucu mereka.

“Jangan tebang lagi, nanti kalau besar supaya banyak kepiting dan Bia lagi. Nanti kalau tebang habis, sudah tidak ada sumber makanan lagi buat kalian,” pesan Marwah.

Salah satu mama yang turut menanam Pohon Mangrove, Sakinah Iba mengatakan Setelah suami mereka pergi keluar yaitu ke kota, atau pergi bekerja dan mereka usai membuat sarapan pagi, mereka lanjut dengan melakukan pembibitan Pohon Mangrove dan menanam pohon Mangrove.

“Kalau bibit, biasanya tong ambil dari biji Mangrove yang Sudah jatuh. Nanti kita tanam di plastik baru kalau sudah besar kita tanam, bibit biasa ada yang pesan juga buat kegiatan menanam pohon Mangrove,” ujar Sakinah.

Meski tidak dibayar saat menanam Mangrove, Ia merasa memiliki tanggung jawab sebagai seorang Ibu untuk melestarikan kawasan hutan Mangrove tersebut agar anak-anak mereka masih bisa bergantung hidup dari pohon Mangrove.

Salah satu aktifitas warga di Kampung Maibo adalah menambang batu karang/Oke

Mama Papua lainnya, Hanafiah Kawagir dan Sanafiah Kawagir kakak beradik itu mengaku bahwa dikampung Mereka juga digilir bantuan sosial menanam Pohon Mangrove dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) RI. Sudah dua tahun program itu berjalan di kampung itu dengan sistem bergilir.

“Tahun lalu ada 30 orang, tahun ini ada 43 orang, nanti digilir, yang tahun lalu sudah dapat, berarti tahun ini diganti yang lain,” ujar Hanafiah.

Setiap hari usai menjala ikan di laut, Ia bersama suami bergegas ke hutan Mangrove Untuk menanam sekitar 100 sampai 150 bibit Mangrove per hari. Sekitar sebulan bercocok tanam bibit Mangrove, akhirnya Ia menerima upah stimulus dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang langsung diterimanya melalui rekening pribadi di Bank Rakyat Indonesia (BRI).

“Saya terima Rp 7.900.000, Karena Rp100.000 buat saldo di Bank. Saya pakai buat kehidupan sehari-hari dan membeli jaring buat tambahan suami saat mencari ikan di laut. Ini sangat membantu sekali apalagi saat Corona (Covid-19) seperti sekarang,” terang Hanafiah.

Ia bersyukur dengan adanya program menanam Mangrove sekaligus mendapatkan stimulus dana untuk mereka. Mereka berharap program tersebut dapat berkelanjutan.

Mama-Mama di Kampung Maibo – Klalin kemudian membentuk sebuah kelompok kerja yang diberi nama Kelompok Perempuan Mikore. Mikore sendiri merupakan singkatan dari nama dua kampung asal masyarakat setempat yaitu Migori dan Korewatara yang berasal dari Kabupaten Sorong Selatan.

Pada kelompok itu, mereka tidak Hanya berbicara soal menanam Mangrove tapi juga kegiatan pemberdayaan perempuan lainnya. Seperti pelatihan maupun kegiatan sosialisasi.

“Saat ini kami sangat berharap ada pelatihan cara memanfaatkan Pohon Mangrove. Saya dapat informasi bahwa ada hasil olahan Pohon Mangrove yang bisa dijadikan sumber makanan. Saya berharap ini bisa dilakukan untuk kelompok Mikore ini,” harap Sakinah sekretaris Kelompok perempuan Mikore.

Kepala Kampung Maibo, Sudin Simurut pun turun tangan dalam memberikan edukasi kepada warga kampung Maibo. Edukasi yang diberikan yaitu berupa sosialisasi, bekerjasama dengan sejumlah LSM, salah satunya Yayasan Econusa dan beberapa LSM Lingkungan lainnya yang konsentrasi membangun kawasan kritis tersebut dengan seminar dan pelatihan. Kemudian, melalui isterinya Ia berharap Perempuan juga ikut terlibat. Karena perempuan dianggap cukup efektif menggerakan warga.

“Kalau Mama-Mama yang bergerak ini cepat, anak-anak dan suami tinggal ikut. Saya selalu ingatkan kalau saat ini kita tanam, butuh waktu bertahun-tahun untuk dia (Mangrove) tumbuh besar dan kokoh. Jangan sampai anak cucu kita yang terima akibatnya, tidak bisa lagi makan Bia kodok atau rumah kita terbawa banjir karena sudah tidak ada lagi mangi-mangi yang menahan ombak,” ujar Sudin.

Sejumlah Mama Papua saat menanam bibit Mangrove di Kampung Maibo/Oke

Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan hasil hutan cabang Dinas Kehutanan Wilayah IX Sorong, Sarteis Sagrim mengatakan ada sekitar 270 hektar kawasan Mangrove yang kritis di wilayah Kampung Maibo. Dimana sudah 100 hektar  kawasan yang direhabilitasi dengan ditanam kembali bibit Mangrove dengan melibatkan warga setempat sejak tahun 2020 hingga 2021. Dimana target dari penanaman adalah 3.000 bibit per hektar sehingga untuk 100 hektar lahan yang sudah ditanam ada sekitar 300.000 bibit pohon.

Dari 300.000 bibit pohon yang telah ditanam di kawasan tersebut, Ia mengaku ada yang bibitnya dapat bertahan dan ada yang tumbang baik karena air pasang atau gagal tumbuh. Dari 100 hektar dan 300.000an bibit Mangrove yang sudah ditanam menurut Sagrim sekitar 5 persen yang gagal tumbuh dan mereka telah menyiapkan petugas pengawasan yang mengawasi tumbuh kembang bibit Mangrove.

“Ada Tim yang secara berkala melakukan pemantauan dan pengawasan pada bibit Mangrove yang telah ditanam, kalau ada yang patah langsung dilaporkan dan akan diganti dengan bibit yang baru,” terang Sagrim.

Ia pun berharap dengan kegiatan penanaman Mangrove yang dilakukan baik melalui kegiatan umum yang melibatkan masyarakat setempat dan masyarakat umum di sejumlah event kegiatan, maupun melalui kelompok yang mendapatkan bantuan stimulan dari BRGM, dapat menjaga semua pohon Mangrove yang telah ditanam.

“Kita sudah menanam Mangrove ini dengan susah payah. Mari Kita Jaga Mangrove ini supaya dapat mengembalikan ekosistem dan habitat serta biodiversity (keanekaragaman hayati) di kampung Maibo,” harap Sagrim.

Sementara itu, sekretaris Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, Ayu Dewi Utami didampingi Kepala Balai Pengendalian Daerah Aliran Sungai Dan Hutan Lindung Remu Ransiki, Giri Suryanta dan Plt. Kepala BBKSDA Papua Barat, Budi Mulyanto pada 22 September lalu menyatakan bahwa Badan Restorasi Gambut dan Mangrove bersama KLHK memiliki tugas melakukan rehabilitasi di 9 provinsi salah satu diantaranya yaitu Papua Barat.

Kepala Balai Pengendalian Daerah Aliran Sungai Dan Hutan Lindung Remu Ransiki, – Papua Barat, Giri Suryanta menjelaskan bahwa luas hutan mangrove di Papua Barat seluas 438.252 hektar kawasan Mangrove. Dimana Daerah yang memiliki hutan mangrove terluas adalah Bintuni, yakni 225.367 hektar atau 52 persen. Disana, kerusakan mangrove mencapai 8.553 hektar, disusul Kabupaten Manokwari dengan kerusakan sekitar 44 persen dari 1.995 hektar ditambah daerah di bagian Sorong dengan total kerusakan hutan Mangrove mencapai 15.000 hektar.

“Untuk tahun 2021 kami melaksanakan rehabilitasi total 33.000 hektar diseluruh Indonesia. Data yang kami dapat, di Papua Barat sekitar 15.000 hektar lahan kritis,” terang Ayu.
Adapun intervensi dari BRGM selain mensuport bibit Mangrove juga melalui upah kerja harian warga untuk menanam bibit Mangrove berupa stimulasi dana.

Hal ini dilakukan dalam rangka pemulihan nasional dimana dengan kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memelihara ekosistem hutan Mangrove. Bantuan upah kerja juga sebagai stimulan agar dapat menjadi modal bagi mereka meninggalkan kebiasaan lama dan beralih mencari mata pencarian baru. Misalnya membuat tambak Ikan atau tambak udang dan lain sebagainya,” ujar Ayu.

Program BRGM ini menurut Ayu harus didukung penuh oleh pemerintah daerah dan instansi teknis lainnya. Kolaborasi tersebut diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.

“Terutama melibatkan perempuan, Mama-Mama Papuanya. Setelah dialog dengan mereka. Mereka ini potensial menggerakan Bapak-bapaknya dan Anak muda, untuk Ayo jangan menebang Pohon Mangrove lagi. Ayo jangan menambang karang lagi. Lebih baik menjala Ikan atau mencari kepiting, udang atau kerang. Kan kalau hutannya lebat, habitatnya juga bertambah. Kepiting, udang dan kerang melimpah,”ujar Ayu. (***)

Komentar