JAKARTA, — Komisi Nasional Disabilitas (KND) secara resmi menandatangani nota kesepahaman dengan Cendekiawan Perempuan Papua (CPP), sebuah organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu-isu perempuan Papua secara khusus dan isu perempuan secara umum. Kolaborasi ini menjadi langkah strategis untuk memperkuat pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, terutama perempuan dengan disabilitas, dalam konteks pembangunan yang inklusif dan berkeadilan di Papua.
CPP bukan lembaga pemerintah, telah menunjukkan komitmen nyata dalam kerja-kerja sosial dan kemanusiaan sejak didirikan tahun 2021. Pada 2022, CPP secara resmi dilantik oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah side event Konferensi Tingkat Tinggi W20 di Manokwari. Selama perjalanannya, CPP aktif mendorong keterlibatan perempuan Papua dalam ruang-ruang pengambilan keputusan.
“Kami percaya bahwa meskipun Papua memiliki kekhususan, negara tetap memegang peran penting dalam memastikan bahwa posisi perempuan Papua tidak terpinggirkan. Kami di CPP merasa terhormat dapat bermitra dengan KND, karena isu disabilitas—khususnya bagi perempuan Papua—masih belum mendapatkan perhatian yang memadai,” ujar Ketua Umum CPP, Rosaline Irene Rumaseuw.
Rosaline menambahkan, kerja sama ini menjadi peluang besar untuk mendorong akses pendidikan yang lebih inklusif di Papua. CPP berharap aspirasi penyandang disabilitas bisa lebih terdengar, terutama di kalangan masyarakat lokal, melalui upaya peningkatan kesadaran publik dan pembangunan kapasitas.
“Papua bisa menjadi pilot project dalam penguatan hak perempuan dengan disabilitas. Kami ingin ikut mengangkat suara mereka agar dapat berkontribusi penuh dalam kehidupan sosial dan pembangunan,” tambah Rosaline.
KND menyambut baik kolaborasi ini. Komisioner KND, Kikin Tarigan menekankan bahwa kehadiran lembaga seperti CPP yang telah bekerja langsung di lapangan, termasuk menjangkau daerah-daerah terjauh seperti Wamena, menjadi kekuatan penting dalam kolaborasi ini.
“Kami sudah berkali-kali ke Papua dan melihat langsung tantangan aksesibilitas di sana. Contohnya, saat distribusi tongkat bantu jalan ke Wamena, biaya pengiriman bisa lebih mahal dari harga alatnya. Ini menunjukkan betapa sulitnya penyandang disabilitas di Papua menjangkau hak-hak dasarnya,” ungkap Kikin.
Oleh karena itu, kerja sama ini tidak hanya akan berjalan di tingkat pusat, tetapi akan didorong lebih lanjut dalam bentuk perjanjian kerja sama (PKS) di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Selain mendorong pelaksanaan Undang-Undang, KND dan CPP juga berkomitmen mengadvokasi lahirnya kebijakan daerah yang berpihak pada kelompok disabilitas.
“Kami melihat CPP memiliki pemahaman yang mendalam dalam isu GEDSI (Gender, Disability, and Social Inclusion). Ini merupakan peluang besar untuk mendorong penyandang disabilitas agar lebih berani bersuara, dan CPP bisa menjadi ruang penguatan dari sisi gerakan sipil,” tegas Kikin.
Kemitraan antara KND dan CPP ini diharapkan menjadi pijakan awal dalam membangun Papua yang lebih inklusif, memberdayakan, dan berkeadilan bagi seluruh warganya—terutama perempuan dengan disabilitas yang selama ini masih termarjinalkan dalam pembangunan. (@komnasdisabilitas)
Komentar