Kepala LLDIKTI Wilayah XIV Pertanyakan Program Sekolah Gratis: Bagian Mananya yang Gratis?

SORONG, PBD – Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah XIV, Suriel Semuel Mofu angkat bicara sekaligus mengkritisi secara tajam sekolah gratis yang selama ini diterapkan Pemerintah daerah di Provinsi Papua Barat Daya.

Hal ini disampaikan Kepala LLDIKTI Wilayah XIV Suriel Semuel Mofu saat ditemui awak media disela-sela pelaksanaan rapat kerja pimpinan yayasan dan pimpinan perguruan tinggi swasta di lingkungan LLDIKTI Wilayah XIV tahun 2025 bertempat disalah satu hotel di Kota Sorong, Jumat (4/7/25).

Ia menyebut bahwa istilah sekolah gratis belum benar-benar terasa nyata di lapangan, terutama dimasing-masing Kabupaten/Kota se-Papua Barat Daya.

Menurutnya, selama ini pemerintah daerah memang mengklaim memberikan sekolah gratis secara cuma-cuma, namun kenyataan yang ditemui di lapangan sangat jauh dari kata gratis. Ia menilai bahwa beban biaya yang harus ditanggung orang tua siswa masih tergolong tinggi, mulai dari biaya pendaftaran sekolah, sumbangan komite, hingga pembelian buku dan alat tulis sekolah.

“Saya sudah berbicara langsung dengan banyak orang tua, mereka mengeluhkan biaya pendaftaran masuk sekolah yang mencapai jutaan rupiah. Masuk sekolah saja sudah bayar mahal, lalu bagian mananya yang gratis?” ujar Kepala LLDIKTI Wilayah XIV Suriel Semuel Mofu.

Ia membeberkan bahwa masih banyak anak-anak yang tidak memiliki perlengkapan belajar dasar, seperti pena atau buku tulis. Dalam sebuah kunjungannya ke sekolah, ia sempat mengadakan tes kemampuan bahasa Inggris dan menemukan bahwa hampir separuh siswa tidak memiliki pena untuk menulis.

“Kalau anak datang ke sekolah tanpa pena, tanpa buku, apa yang bisa dia pelajari?, mau tulis pakai apa?, ini yang harus jadi perhatian kita semua,” ucapnya.

Dirinya turut menyoroti pentingnya meninjau ulang kebijakan sekolah gratis agar lebih menyeluruh. Ia menyatakan bahwa apabila yang digratiskan hanya biaya administrasi atau SPP, sementara kebutuhan utama seperti buku pelajaran, alat tulis, dan seragam tetap harus dibeli orang tua, maka itu bukanlah sekolah gratis yang sesungguhnya.

“Kalau buku LKS saja harganya bisa Rp100.000 per buku dan satu siswa butuh 10 buku, maka orang tua harus keluarkan Rp 1 juta, itu tiap semester. Apanya yang gratis?” imbuhnya.

Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa pemerintah daerah perlu menyediakan bukan hanya pendidikan formal tanpa biaya, namun perlu fasilitas penunjang seperti buku teks, alat tulis, dan perlengkapan laboratorium. Ia menambahkan, daripada semua pihak bangga dengan slogan sekolah gratis, lebih baik kita pastikan anak-anak datang ke sekolah dengan alat belajar lengkap.

“Gratis tidak serta-merta meningkatkan kualitas dan partisipasi pendidikan jika tidak disertai dukungan nyata pada kebutuhan dasar siswa,” tandasnya. (Jharu)

Komentar