Faktanya adalah DPRD Kota Sorong membuka pintu dan menerima aspirasi mahasiswa hingga di depan pintu utama kantor dewan dan beberapa perwakilan masuk kekantor DPRD, meskipun tidak semua massa diperbolehkan masuk.
“Pihak Kepolisian baru informasikan melalui saluran telepon ke Kami beberapa jam sebelum demo. Saya orang pertama yang menolak aksi karena tidak ada surat yang diterima. Tapi ibu Sekwan tidak bisa menolak karena massa aksi sudah mendekati kantor DPRD dan pada akhirnya kami terima sampai di depan pintu kantor,” kata Gusti Sagrim.
Terkait anggota dewan yang mempersulit mahasiswa bertemu dengan ketua dan anggota dewan, faktanya bahwa pimpinan di DPRD berjumlah 3 orang dan bersifat kolektif kolegial dimana pada saat demonstrasi aksi massa telah ditemui dua unsur pimpinan dewan dan anggota DPRD lainnya sehingga sudah mewakili kelembagaan DPRD.
“Kami menerima mereka dengan baik. Kami berdiri bahkan 1 jam dicaci maki oleh mereka. Kemudian kenapa berujung anarkis karena ada 2 permintaan mereka yang bertolak belakang dengan tatib dewan. Pertama, Mereka minta untuk masuk kedalam ruangan. Jika tidak bisa mereka minta paripurna di depan mereka. Jika tidak bisa maka mereka meminta kita live di video membuat statment menolak Omnibus Law. Itu tidak bisa karena menyalahi tata tertib dewan. Kemudian terjadilah kesepakatan untuk negosiasi, dimana ada perwakilan mahasiswa yang bertemu Kami di ruangan Saya. Satu per satu sudah menyampaikan aspirasinya pas mau dikembalikan ke Saya, sudah terjadi pelemparan kaca kantor dan tindakan anarkis tersebut,” kata Gusti Sagrim.
Komentar