SORONG, PBD – Forum Pengawal Perjuangan Rakyat (Fopera) Provinsi Papua Barat Daya buka suara sekaligus menyampaikan kritik keras terhadap lokasi pembangunan Kantor Gubernur Papua Barat Daya yang saat ini tengah direncanakan tepatnya di kawasan Kilometer 16, Kota Sorong, Papua Barat Daya.
Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua Fopera PBD Yanto Ijie saat menggelar jumpa pers di Kantor Fopera PBD, Kota Sorong, Selasa (29/4/25).
Dikatakannya, ia menilai dan memandang dengan cermat bahwa proyek pembangunan kawasan Kantor Gubernur PBD ini tidak memenuhi syarat kelayakan baik dari aspek ekologis, geologis, sosial, maupun strategis pembangunan jangka panjang.
Lebih lanjut, diakuinya, pihaknya telah melakukan pengkajian mendalam dan menyoroti bahwa lokasi Kilometer 16 Kota Sorong merupakan kawasan hutan mangrove yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir.
“Pembangunan di atas kawasan mangrove berisiko merusak lingkungan dan mengganggu keberlanjutan hidup masyarakat sekitar,” tegas Ketua Fopera PBD Yanto Ijie.
Disambungnya bahwa, selain itu, kondisi tanah berlumpur dan rawan banjir rob dinilai tidak layak untuk menopang bangunan besar seperti kompleks perkantoran pemerintah.
“Kita lihat bersama bahwa kawasan Kantor Gubernur yang di Kilometer 16 ini kondisi tanah berlumpur dan rawan banjir rob, kami sampaikan hal in tidak layak untuk menopang bangunan besar seperti kompleks perkantoran pemerintah Provinsi Papua Barat Daya,” jelasnya.
Ia menyampaikan kekhawatiran pihanya terhadap tingginya kepadatan penduduk di Kota Sorong yang akan semakin memburuk dalam 20–50 tahun mendatang apabila pusat pemerintahan tetap dipusatkan di area tersebut.
“Kota Sorong sudah cukup dijadikan sebagai kota jasa dan industri. Untuk pusat pemerintahan, perlu dicari wilayah baru yang lebih representatif dan aman,” paparnya.
Melalui pertimbangan yang matang, dirinya mengusulkan agar lokasi pembangunan dipindahkan ke wilayah yang lebih strategis dan berada di tengah-tengah mayoritas Orang Asli Papua (OAP), sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua. Alternatif yang diajukannya antara lain berada di wilayah Bandara Segun, Sayosa, atau Batu Payung.
Ia meminta Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya untuk mengusulkan perubahan UU Nomor 29 Tahun 2022 terkait letak ibukota provinsi. Pihaknya menuntut agar proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dilakukan secara objektif dan bukan sekadar formalitas administratif.
“Pandangan ini bukan bentuk penolakan pembangunan, melainkan pengawalan agar Papua Barat Daya tumbuh secara lebih baik, berkelanjutan, dan berorientasi masa depan,” bebernya.
Dirinya menawarkan sejumlah solusi konstruktif, termasuk mendorong penyesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), membangun kawasan perkantoran dengan konsep kota baru, dan menekankan pentingnya pelibatan masyarakat dalam seluruh proses pembangunan.
“Dengan semangat bersama rakyat, kita kawal pembangunan untuk keadilan dan kesejahteraan bersama. Kami berkomitmen penuh untuk terus mengawal arah pembangunan di Provinsi Papua Barat Daya agar berpihak pada rakyat dan lingkungan hidup,” tandasnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Sorongnews.com, berikut ini pernyataan sikap Fopera PBD yang telah dihimpun sebagai berikut :
1) Mendesak Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya untuk mempertimbangkan kembali dan membatalkan lokasi pembangunan kawasan perkantoran yang direncanakan di Kilo 16, dengan memperhatikan aspek kelayakan ekologis, keberlanjutan pembangunan, serta prospek jangka panjang.
2) Mengusulkan pencarian lokasi alternatif yang lebih strategis untuk pembangunan perkantoran Provinsi Papua Barat Daya, yang berada di tengah-tengah mayoritas penduduk Orang Asli Papua (OAP), sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, Pasal 76 Ayat 4. Lokasi alternatif yang kami sarankan berada di arah selatan wilayah Jalan Bandara Segun, serta arah timur dan utara di wilayah Sayosa dan/atau Batu Payung.
3) Memohon kepada Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya agar mengusulkan kepada Pemerintah Pusat untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait revisi UU Nomor 29 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya, khususnya Pasal 6 tentang letak Ibu Kota Provinsi.
4) Mendorong penataan kawasan baru dengan visi jangka panjang yang dapat menjadi embrio bagi lahirnya kota baru sebagai pusat pemerintahan masa depan.
5) Menuntut agar proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dilaksanakan secara objektif, akuntabel, dan berlandaskan pada prinsip keberlanjutan lingkungan, bukan hanya menjadi formalitas administratif yang dipengaruhi kepentingan pemrakarsa proyek.
6) Menegaskan bahwa pandangan ini bukan merupakan upaya untuk menghambat pembangunan atau menolak Proyek Strategis Nasional Presiden Republik Indonesia, yang telah mencanangkan percepatan pembangunan di daerah otonomi baru. Ini juga bukan bertujuan melemahkan visi, misi, atau janji politik Gubernur terpilih. Sebaliknya, ini adalah bentuk kritik konstruktif dan tanggung jawab moral kami untuk mengawal agar Provinsi Papua Barat Daya dapat tumbuh lebih cepat, lebih baik, dan lebih terorganisasi dibandingkan daerah otonomi baru lainnya.
Sebagai provinsi baru, Papua Barat Daya harus menjadi teladan bagaimana pembangunan dirancang bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk 50 hingga 100 tahun ke depan: membangun tanpa merusak, membangun dengan merangkul alam, dan membangun demi masa depan rakyat banyak. Inilah prinsip perjuangan kami. (Jharu)
Komentar