“Beberapa tahun lalu kekerasan fisik pengusiran kemudian sensor, teror dan perusakan alat kerja itu mendominasi, tapi untuk tiga atau empat tahun terakhir ini mulai mendominasi kekerasan yang dialami, bosing ini mengungkap identitas jurnalis dan menyebarluaskannya di media massa, media sosial, tujuannya untuk menjatuhkan kredibilitasnya atau membuka identitasnya seluas-luasnya”, terangnya.
Olha Mulalinda, Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia Papua Barat, yang juga menjadi salah satu narasumber dalam diskusi virtual tersebut juga mengungkapnya, bahwa Indeks kemerdekaan pers Papua Barat masih berada dibawah IKP nasional. IKP Papua Barat menempati posisi 33 dari 34 Provinsi di Indonesia.
“Indeks atau Kemerdekaan Pers Papua Barat (IKP) tahun 2018 sebesar 71,06 atau cukup baik, namun secara peringkat IKP Papua Barat menurun, sekarang posisi IKP kita 33 dari 34 provinsi, sedangkan tahun 2018 posisi kita 31 dari 34 Provinsi, meskipun akumulasi nilainnya 67,87 dan dibawah rata-rata IKP nasional”, terangnya.
Dalam kesempatan yang sama juga, Gilang Parahita selaku akademisi Universitas Gadjah Mada menekankan bahwa para calon jurnalis di perguruan tinggi dapat memahami hak-hak dan pentingnya perlindungan gender terhadap jurnalis, dan hal semacam itu harus diajarkan di kampus menjadi mata kuliah khusus.
“Penting juga calon jurnalis diluar kampus atau calon jurnalis di perguruan tinggi dapat memahami hak-hak dan pentingnya perlindungan gender terhadap jurnalis, jadi ini harus ada di salah satu mata kuliah walaupun itu muncul hanya di satu atau dua pertemuan tapi ini harus muncul” terang gilang. (Fatrab)
Komentar