Sosialisasi Dokumen RPPLH, Kolaborasi Strategis Pemprov dengan Konservasi Indonesia

SORONG, PBD – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Barat Daya menggelar sosialisasi dokumen Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) bertempat disalah satu hotel di Kota Sorong, Papua Barat Daya, Kamis (8/5/24).

Pelaksanaan sosialisasi itu dibuka oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan Papua Barat Daya Julian Kelly Kambu mewakili Gubernur PBD Elisa Kambu.

Sosialisasi tersebut digelar selama 2 hari, tercatat dimulai hari ini Kamis (8/5/25) hingga Jumat (9/5/25).

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu menuturkan bahwa RPPLH merupakan dokumen strategis dengan masa berlaku 30 tahun yang akan menjadi acuan berbagai dokumen perencanaan lain, seperti RTRW, RPJPD, hingga rencana kehutanan.

“Dokumen ini sangat penting. Kita duduk hari ini untuk melihat kondisi riil Papua Barat Daya 30 tahun ke depan, baik kualitas air, udara, tanah, laut, dan seluruh ekosistemnya. RPPLH ini menjadi payung utama yang menaungi dokumen-dokumen lainnya, termasuk RTRW, RPJPD, dan RPJMD,” ujar Kadis LHKP PBD Julian Kelly Kambu.

Ia menegaskan bahwa penyusunan dokumen ini merupakan amanat dari peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) yang menyebutkan bahwa pembangunan di tanah Papua harus berlandaskan prinsip berkelanjutan.

Menurutnya, pendekatan pembangunan saat ini tidak lagi memisahkan antara rencana wilayah darat dan laut, semuanya dinilainya harus terintegrasi, karena satu perubahan di wilayah hulu dapat berdampak langsung ke hilir, termasuk pesisir dan laut.

“Kalau sebelumnya rencana laut dan darat disusun terpisah, sekarang semuanya harus satu dokumen. Karena kalau pohon di gunung ditebang, laut yang tercemar. Itu hukum alam,” jelasnya.

Ia menekankan pentingnya peran serta Kabupaten/Kota dalam penyusunan dokumen lingkungan strategis, seperti RPPLH dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Ia mengingatkan bahwa jika dokumen-dokumen ini tidak disusun, maka dokumen perencanaan seperti RPJMD dan RTRW tidak akan diterima oleh pemerintah pusat.

“Beban kami di provinsi sudah kami tunaikan. Jika masih ada masalah, maka Kabupaten/Kota yang akan bertanggung jawab. Sudah ada surat teguran dari kementerian,” tegasnya.

Dirinya menyampaikan apresiasi kepada mitra pembangunan seperti Konservasi Indonesia serta pihak terkait lainnya yang telah mendukung proses ini, meskipun dengan keterbatasan anggaran dari pemerintah daerah.

“Tidak ada yang tersembunyi, semua proses ini kami jalani dengan keterbukaan dan dukungan dari mitra. Kami berterima kasih,” tutupnya.

Sementara itu, South Sorong Program Manager Konservasi Indonesia, Muhammad Varih Sovy menyampaikan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan lembaga konservasi dalam menyusun dokumen lingkungan hidup seperti RPPLH.

“Kami ingin ada kolaborasi dalam perencanaan pengelolaan wilayah, terutama dari sisi kebijakan dan pelaksanaannya. Kita telah berdiskusi dengan Kepala Dinas, dan beliau menyatakan kesanggupan. Ini bagian dari upaya bersama memperkuat perencanaan pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan,” kata South Sorong Program Manager Konservasi Indonesia, Muhammad Varih Sovy.

Ia melihat bahwa proses penyusunan dokumen RPPLH masih menjadi tantangan dibanyak Kabupaten/Kota di Papua Barat Daya karena keterbatasan sumber daya manusia dan pemahaman teknis. Oleh karena itu, menurutnya, sosialisasi ini menjadi momen penting untuk membekali para pemangku kepentingan di tingkat daerah.

“RPPLH ini bukan hanya soal dokumen. Ini tentang bagaimana kita menyeimbangkan kepentingan manusia dan alam, termasuk dalam isu hutan adat, investasi, dan konsesi lahan. RPPLH menjembatani perencanaan dan pengawasan lingkungan hidup,” terangnya.

Ia menyebut bahwa Kabupaten Sorong Selatan saat ini telah berada dalam tahap akhir penyusunan RPPLH dan tengah melakukan kajian serta review teknis. Menurutnya, hal ini penting agar RPPLH kabupaten bisa sejalan dan terintegrasi dengan dokumen RPPLH provinsi serta kebijakan pusat.

Dirinya menambahkan bahwa, sekitar 70 persen wilayah di beberapa daerah bukan merupakan kewenangan langsung pemerintah daerah, karena merupakan kawasan lindung atau kawasan hutan nasional. Hal ini menurutnya membuat dokumen RPPLH semakin penting dalam menyeimbangkan kebutuhan investasi dengan pelestarian lingkungan.

“Pertemuan ini bukan sekadar sosialisasi, namun menjadi langkah awal untuk menyatukan persepsi dan memperkuat kapasitas daerah dalam menyusun RPPLH yang komprehensif,” tandasnya. (Jharu)

Komentar