SORONG, PBD – Investigasi cepat di Jalan Selat Makassar, Kelurahan Remu Selatan, mengungkap fakta lapangan yang bertolak belakang dengan laporan seorang warga bernama Yuldi Pomeo, yang sebelumnya meminta penutupan pangkalan BBM di wilayah tersebut.
Alih-alih menemukan indikasi ancaman keselamatan seperti yang dituduhkan, mayoritas warga justru menilai Yuldi sebagai pemicu ketegangan dan menyebut laporannya sarat motif non-teknis.
Hasil pengecekan langsung disekitar lokasi pada Jumat (7/11/25) menunjukkan bahwa pangkalan BBM tersebut hanya menyimpan stok harian terbatas sesuai kebutuhan warga berkisar pada operasi eceran skala rumahan jauh dari klaim Yuldi yang menyebut ada puluhan ton BBM.
Warga yang berada di lokasi juga mengonfirmasi bahwa antrean pembeli terdiri dari pengguna motor, nelayan kecil, ibu rumah tangga, serta pemilik usaha mikro.
“Tidak ada puluhan ton. Stoknya standar kebutuhan harian. Kami yang lihat langsung,” kata salah satu warga yang dibenarkan oleh pemilik pangkalan, Fitri Chaedar.
Pengelola pangkalan, Fitri Chaedar, menyatakan bahwa aktivitas yang dilakukan berawal dari izin resmi, namun pembaruan izin terkendala birokrasi.
“Benar bahwa pangkalan ini tidak resmi, tapi sebelumnya resmi. Cuma kami tidak perbaharui yang punya ijin ini pindah kemudian di kontrakan ke kami. Tapi bukan juga ilegal karena kami dapat surat dari kantor lurah yang harus diperbaharui setiap tiga bulan. Sedangkan dari dinas, selama ini kami urus, selalu bilang tunggu tunggu dan akhirnya prosesnya selalu terhenti di dinas. Ini bukan ilegal,” jelas Fitri.
Fitri juga menyebut pangkalan yang dikelolanya telah beroperasi sejak 2003 di lokasi kontrakan yang sama dengan pemilik sebelumnya yang dipanggil Mpok. Kemudian beralih status dikelola oleh kakaknya Rosmiati Chaedar dan selama bertahun-tahun menjadi sumber penjualan BBM berupa pertalite, minyak tanah dan oli bagi warga.
“Kami dapat stok bukan dari mobil tangki tapi dari mobil yang tap tap di SPBU. Saya jual juga bukan harga subsidi karena saya beli juga bukan harga subsidi, ” ungkap Fitri.
Ia mengatakan menjual bensin jenis pertalite 11.000-12.000 perliter sedangkan minyak tanah 6.000-7.000 perliter.
Fitri menambahkan bahwa Yuldi kerap mengintimidasi Ia dan warga karena menganggap bangunan yang berdiri disana adalah miliknya. Padahal lahan tersebut milik pemerintah.
Mayoritas warga yang ditemui menolak keras klaim Yuldi. Mereka menyebut perilaku Yuldi kurang baik padahal Ia adalah seorang anggota TNI.
“Dia ini padahal anggota TNI tapi kerap buat masalah dengan warga disini,” ujar seorang warga, Hengki.
Berdasarkan kesaksian di lokasi, ketegangan memuncak ketika Yuldi menuduh pangkalan menggunakan listrik dari rumahnya dan menyimpan BBM dalam jumlah besar. Warga dan pengelola langsung membantah.
“Sambungan listrik itu bukan seperti yang dia bilang. Tidak ada bahaya kebakaran seperti yang dia dramatisir,” imbuh Fitri.
Sementara itu, di lokasi yang sama, Yuldi mengaku bahwa dia keberatan karena bangunan pangkalan BBM berdiri diatas lahan miliknya termasuk bangunan terminal milik Dinas Perhubungan.
“Saya bisa buktikan bahwa saya punya surat-surat lengkap, ” tegasnya.
Terkait perilakunya yang dituduhkan warga, Ia mengaku jika bermasalah maka bisa melapor ke instansi terkait atau koramil terdekat.
Dari pantauan di lapangan, terdapat indikasi kuat bahwa polemik ini lebih berakar pada konflik personal, ketidakcocokan antarwarga, serta dinamika hubungan dengan pihak dinas. (Oke)










Komentar