SORONG, – Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan oleh DPR RI pada 12 April 2022 lalu. UU TPKS merupakan salah satu produk inisiatif DPR pada RUU TPKS Januari itu kini telah menjadi produk hukum.
Dikutip dari CNN Indonesia, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Aditya mengatakan, RUU TPKS terdiri dari 93 pasal dan 12 bab yang di dalamnya memuat sembilan jenis kekerasan seksual. Dia menyebut RUU TPKS akan memberi perlindungan bagi korban dan payung hukum bagi aparat penegak hukum yang tidak diatur dalam KUHP.
Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy dalam webinar FJPI yang dilakukan belum lama ini bahwa untuk menciptakan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) maka UU TPKS ini dapat diterapkan mulai dari desa.
“Desa ramah perempuan dan peduli anak harus mengintegrasikan UU TPKS kedalam tata kelola penyelenggaraan pemerintah desa, pembangunan desa, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa, yang dilakukan secara terencana, menyeluruh dan berkelanjutan,” ujar Olivia.
Ia mengatakan bahwa Desa wajib memberikan rasa aman dan nyaman bagi perempuan dan anak, memenuhi hak atas perlidnungan dari kekerasan dan diskriminasi termasuk dalam penyediaan sarana dan prasarana di desa.
Ditambahkan olehnya bahwa pencegahan kekerasan seksual baik fisik atau non fisik juga dapat memperhatikan situasi konflik, bencana, letak geografis dan situasi khusus lainnya. Sedangkan tempat-tempat yang menurutnya patut untuk di waspadai dalam kekerasan seksual adalah panti sosial, satuan pendidikan, tempat kerja dan tempat lain yang berpotensi terjadi tindak pidana kekerasan seksual.
Adapun dampak nyata yang dialami korban kekerasan seksual diantaranya, korban mengalami penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi sosial dan politik. Korban mendapatkan stigma dan dikucilkan oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Korban merasakan dampak yang sangat serius dan traumatik seumur hidup, bahkan mengalami tekanan psikologis yang memicu bunuh diri.
Oleh karena itu, negara wajib hadir untuk memenuhi hak-hak korban melalui sistem layanan terpadu baik dari pusat, daerah hingga desa.
Ia pun bersyukur dengan diresmikannya UU TPKS, karena ada terobosan baru dalam hukum acara pidana. Diantaranya adalah perluasan alat bukti. Dimana satu keterangan korban cukup untuk dijadikan sebagai keterangan saksi, keterangan saksi penyandang disabilitas setara dengan non disabilitas, larangan mengkriminalkan korban, adanya pendampingan korban, hak restitusi dan sita restitusi, dana bantuan bagi korban dan perintah perlindungan sementara korban.
Korban atau siapapun yang mengetahui atau melihat kekerasan seksual bisa melaporkannya ke UPTD PPA, lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, termasuk kepolisian. Kemudian pada pasal 42 disebutkan, dalam waktu 1×24 jam, pelapor atau korban berhak menerima perlindungan oleh aparat kepolisian.
Selama kurun waktu itu, polisi berhak membatasi gerak pelaku, baik membatasi atau menjauhkan korban dengan pelaku maupun hak lain. Selanjutnya, sejak perlindungan sementara kepolisian wajib mengajukan
permintaan perlindungan kepada LPSK.
Dalam pasal 67, korban kekerasan seksual memiliki tiga hak, meliputi hak atas penanganan; hak atas perlindungan; dan hak atas pemulihan. Pemenuhan atas hak tersebut merupakan kewajiban negara sesuai kondisi dan kebutuhan korban.
Hak atas penanganan misalnya, mendapat dokumen hasil penanganan, layanan hukum, penguatan psikologis, perawatan medis, hingga hak untuk menghapus konten seksual berbasis elektronik yang menyangkut korban.
Kemudian hak perlindungan meliputi, kerahasiaan identitas, tindakan merendahkan oleh aparat yang menangani kasus, hingga perlindungan atas kehilangan pekerjaan, mutasi, pendidikan, hingga akses politik.
Pasal 30 UU TPKS mengatur soal hak restitusi atau ganti kerugian yang didapat korban kekerasan seksual. Dana restitusi diberikan atas putusan hakim yang menetapkan pelaku bersalah.
Nantinya, penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku kekerasan seksual atas izin pengadilan negeri setempat. Namun, restitusi dapat dikembalikan jika perkara tidak jadi dituntut karena tak cukup bukti.
“berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,” demikian bunyi poin b pasal 32. (Oke)
Komentar