JAKARTA, – Society Environmental Indonesia Journalist (SIEJ), menggelar diskusi publik tentang informasi dan data tentang deforestasi hutan di Indonesia secara daring, Jumat, (10/12/21).
Diskusi publik tersebut mengundang Dirjen Planologi kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Ruandha Agung Sugardiman, David Gaveau ilmuwan dari The Tree Map, Kiki Taufik dari Greenpace Indonesia dan Akademisi dari UGM Prof. Ahmad Maryudi, tetapi sampai diskusi dimulai, kedua narasumber dari KLHK dan Akademisi UGM tidak dapat dikonfirmasi untuk memaparkan pandangannya.
Ketua Umum SIEJ Rochimawati, mengatakan pihaknya sengaja memfasilitasi diskusi terkait perbedaan data dan informasi antara pemerintah dengan lembaga dunia yang melakukan penelitian terkait deforestasi.
“Kami ingin menemukan titik terang, dengan dibukanya data dan informasi dan biarkan publik yang menilai,” kata dia.
Tujuan utama SIEJ adalah membangun jaringan jurnalis dan media untuk mendorong peliputan lingkungan yang kritis dan berpihak kepada kebenaran.
Krisis perubahan iklim di Indonesia membutuhkan dukungan besar khususnya dari Pemerintah untuk menyelamatkan rakyat Indonesia, salah satunya adalah transparansi data untuk menekan laju deforestasi hutan melalui berbagai kebijakan.
Demikian benang merah yang tersampaikan dalam diskusi publik tentang informasi dan data deforestasi hutan di Indonesia yang diselenggarakan oleh SIEJ Indonesia.
Langkah selanjutnya mengevaluasi perizinan penggunaan lahan untuk perkebunan sawit, HTI dan pertambangan, penguatan fungsi hutan dan lahan gambut, serta mengevaluasi proyek nasional yang dapat mengancam keberadaan hutan.
Menurut Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Kiki Taufik, sejauh ini tidak ada itikad baik dari Pemerintah Indonesia dalam hal menekan laju deforestasi. Pemerintah selalu mengklaim, bahwa telah terjadi penurunan laju kerusakan hutan karena adanya kebijakan moratorium penggunaan hutan dan lahan gambut.
Pihaknya menyebutkan, bahwa data deforestasi di Indonesia meningkat sebelumnya, 2.45 juta hektare (2003-2011) menjadi 4.96 juta hektare (2012-2020). “Dari data bisa terlihat, bahwa sejak adanya kebijakan moratorium, justru kita kehilangan hutan. Kalimantan dan Sumatera yang cukup masif kerusakannya,” kata Kiki Taufik.
Pada kondisi kejadian kerusakan hutan yang cukup masif ini, pihaknya melihat peta data Mapsevice milik KLHK, tidak semua data yang disajikan oleh pemerintah dapat diakses oleh publik.
Di Indonesia terdapat lima lembaga penelitian dunia yang mengukur laju deforestasi, diantaranya KLHK, University of Maryland, European Commision JRC, Atlas Nusantara (Tree Map) dan Map Biomass. Penelitian ini dilakukan dalam periode 2001-2020.
Kiki menyebutkan, terdapat perbedaan data dengan tingkat akurasi yang berbeda pula yang ditemukan dari ke lima institusi tersebut. Angka deforestasi Indonesia 2001-2020, data dari KLHK angka total kerusakan dalam satuan hektare mencapai 14.126.900, sementara University of Maryland 9.872.207, kemudian European Commission-JRC 22.450.801, Altlas Nusantara 10.012754 dan Map Biomass 13.065.825.
“Pemerintah tetap keukeh bahwa deforestasi berhasil ditekan dengan adanya kebijakan moratorium perizinan perkebunan sawit, pertambangan dan HTI,” katanya lagi.
David Gaveau dari The Tree Map mengatakan ada dua perbedaan dari penyajian data yang dilakukan lembaganya, pertama adalah akurasi pengguna dan dan akurasi prosedur. Data yang disajikannya, terupdate setiap 6 hari sekali sedangkan, data yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia bisa mencapai 16 hari.
Dia menambahkan, Dirjen KLHK mengatakan tidaklah salah Presiden Jokowi mengklaim telah berhasil menekan angka kehilangan lahan hutan. Data terakhir pemerintah menunjukkan bahwa deforestasi saat ini adalah yang terendah dalam kurun waktu 20 tahun.
Kementerian mencatat kehilangan lahan sebanyak 115.460 ha karena deforestasi tahun 2019-2020. “Saya tidak setuju angka ini, saya rasa kementerian memperkecil angka itu,” kata david.
“Kita tidak tahu, data siapa yang salah. Sebenarnya kami ingin mengajak pemerintah untuk menyamakan persepsi terkait pemantauan, data ini dan kemudian sama-sama mengevaluasi untuk mengambil langkah-langkah tepat,”
David mengatakan, mengawal hutan menjadi tanggung jawab bersama, salah satunya dengan adanya transparansi data akan dapat mencegah kerusakan hutan lebih parah lagi.
“Memang benar ada perbedaan data dan informasi terkait deforestasi, tetapi bahwa ada terjadinya kerusakan hutan adalah nyata, belum terlambat untuk fokus menyelamatkan hidrologi”(*/sya)
Komentar