Kapal Besar Kuasai Laut Arafura, Nelayan Kecil Merauke Menjerit

Perbedaan budaya hidup itu membuat Lodewick dan Philipus Gepse harus memutar otak untuk terus dapat bertahan ditengah sulitnya mencari ikan dan udang diwilayah pesisir Arafura. Mereke tidak ingin generasi mereka sama dengan dirinya. Ditengah gempuran kapal-kapal besar ia harus lebih banyak turun melaut dikarenakan harus memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anak yang sedang dalam masa pendidikan. “Kalau saya, lebih baik sekolah. Tidak usah berfikir kelaut, karena kondisinya sekarang sudah begini. Sekarang seperti rasa terbeban begitu. Begini saja, anak mau sekolah toh, kita su rasa eh kita kelaut kita harus dapat, tapi sekarang kan sudah tidak bisa seperti dulu-dulu. Kalau dulu kelaut pasti dapat, sekarang 3-4 hari kelaut kalau cuman dapat satu ekor, jelas jadi beban pikiran bagi kita. Sampai dirumah mau bagaimana, pasti anak-anak, ibu tanya, dapat hasil ka tidak ? ya begini sudah”, ucapnya dengan nada sedih.

***

__

Sama halnya yang dialami Nurtindri (62), nelayan kecil dari Lampu Satu Merauke. Sebagai perintis nelayan Merauke sejak 25 tahun lalu, Nur sapaan akrabnya mengaku kini mencari ikan dipinggiran laut Arafura sangat susah. Bila sebelumnya, nelayan bisa mendapat ikan dengan jumlah lumayan. Sekarang melaut selama 4 hari memakai perahu semang sering pulang dengan tangan kosong. Tiga anak buah kapal (ABK) yang menjaring ikan harus menghela nafas panjang.

“Mestinya saat ini musim ikan bisa dapat lumayan. Tapi ini susah sekali, beda dengan tahun-tahun sebelumnya dapat ikan kecil dan besar. Hasil nelayan kecil tidak memuaskan, padahal dulu ikan banyak,” jelasnya.

Nurtindri menceritakan, meski tak bisa diprediksi mendapat ikan atau tidak namun sangat terasa dahulu melaut bisa mendapatkan hasil yang cukup banyak. Bahkan, pernah meraup untung untuk pertama dan terakhir kalinya hingga ratusan juta pada 2017.

“Kita pernah dapat hasil paling tinggi itu Rp 100 juta saat musim kakap 2017 (waktu itu kita cari gelembung). Itu jarang terjadi dan hanya saat itu,” imbuhnya.

Setelah itu, nelayan kecil sering gigit jari karena kesulitan mendapat ikan. Nurtindri sudah menggeluti dunia nelayan sejak 1997 lalu di Merauke. Dahulu ikan dijual dengan harga 1.500 per tali. Untuk mencari ikan, cukup dipinggir-pinggir pantai saja sudah banyak. Sekarang perahu semang nelayan kecil harus berlari sejauh beberapa mil tidak menjangkau ikan. Bahkan, selisih harga ikan pada tahun 1997 harganya 1.500 pertali. Sekarang harga ikan 50.000 per tali, dimana satu tali berisi 10 ikan.

“Dulu nelayan dipinggir-pinggir sini turun sudah dapat ikan. Sekarang nelayan sampai menjauh berapa mil untuk dapat ikan tapi masih susah dapat. Saking banyaknya kapal-kapal besar yang menghalangi nelayan kecil,” katanya.

“Sekarang ikan sulit dicari tapi harganya masih murah,” keluh pria 6 orang anak ini.

Mirisnya, sambung Nurtindri, jaring yang dipasang nelayan kecil dipinggiran laut Arafura sering ditabrak oleh kapal besar sehingga rusak dan hilang. “Nelayan kecil pasang jaring 2 sampai 3 kilometer. Itu dijaga jangan sampai ada kapal lewat menabrak dan putus lagi. Terkadang kalau kapal besar pengertian dia upayakan jaring kita selamat, tapi banyak kapal besar amburadul. Tidak mengerti nelayan kecil, dilewati dan jaringnya putus. Akhirnya kita mencari jaring hilang,” keluhnya.

“Terpaksa nelayan kecil pun menghabiskan waktu dilaut mencari jaringnya yang rusak dan hilang”, jelasnya. Sementara biaya BBM semakin mahal, biaya modal berlayar habis dan penghasilan tidak ada. Sekali melaut, nelayan kecil menggunakan sekira 200 liter BBM.

“Nelayan kecil meminta kepada kapal-kapal besar bisa menyadari tempat kita disini yang sedang pasang jaring. Kan dipasang lampu dijaring kita. Tolonglah  hati-hati supaya kita bisa selamat, jangan lewati dan rusak sampai hilang. Kita terkadang habis bensin mencari jaring itu,” kata Nurtindri.

Komentar