Kapal Besar Kuasai Laut Arafura, Nelayan Kecil Merauke Menjerit

Hadirnya kapal-kapan besar dengan ukuran lebih dari 20 GT dengan pengawasan yang minim menghadirkan kecemasan bagi masyarakat lokal Papua yang hidupnya bergantung dari laut. Mereka tidak hanya khawatir mata pencaharian mereka akan hilang, melainkan ke khawatiran lebih besar datang disaat anak-cucumereka nantinya beranjak dewasa, mereka khawatir anak-cucu mereka hanya mendengar cerita tentang kayanya sumber daya ikan yang ada diwilayah mereka.

“Kami khawatir  untuk keberlanjutannya, untuk anak cucu kita. Kalau terumbu karang su hancur, itu kan tempat untuk ikan, kita bicara dengan teman-teman “terumbu karang hancur kitong bagaimana ?, karena nanti lama-lama ikan hilang, karena banyak sekali dia terumbu karang hancur”, keluh Lodewick.

__

Keresahan dan kekhawatiran juga dirasakan oleh Philipus Gepse, Putra Suku Lokal Merauke yang lahir dan dibesarkan diwilayah yang saat ini menjadi tujuan nelayan dari berbagai daerah mencari ikan.

“Saya Khawatir sekali untuk kedepan, kondisi su (sudah) begini, besok mungkin katong pu (saya punya) anak-anak sudah tidak tahu, ada dengar nama udang saja. Tidak tahu udangnya seperti apa. Sekarang mau makan ikan itu harus pakai mata seratus atau lima puluh (maksudnya pakai uang toh, kalau jaring tidak dapat), kalau kita mau makan ikan, kita beli, dulu tidak beli”, keluhnya dengan tatapan kelaut.

Mereka memang mengkhawatirkan banyaknya kapal dan nelayan pendatang yang beroperasi di wilayah laut mereka, tetapi mereka juga merasa senang dengan kedatangan mereka. Karena masyarakat memiliki kesempatan untuk merubah cara menangkap ikan dengan menggunakan peralatan  yang lebih modern.

“Kedatangan nelayan-nelayan daeng ini, kita dapat dampak positifnya. Karena mereka ini kita bisa jahit jaring, kita bisa bawa mesin sendiri, perbaiki sendiri. Kalau dulu tidak bisa, karena mereka ini kita belajar. Sekarang kita pemikiran sudah berubah, cara mencari kita juga sudah berubah. Tidak seperti dulu, kita sekarang sudah berani keluar sama dengan mereka”, jelas Philipus Gepse.

Berbeda dengan Lodewick Susanto, ia menjelaskan terdapat perbedaan budaya mereka dengan para nelayan pendatang. “Kalau kita punya hasil bagus semua keluarga datang, sedangkan mereka (pendatang) kan tidak. Jadi kalau dapat rezeki banyak waktu itu, sudah habis juga waktu itu. Kalau pendatang kan tidak. Habis waktu itu, ya harus cari lagi. Itu susahnya, kita tidak bisa simpan untuk kedepan, tidak bisa. Misalnya sakit gitu, kita mau cari kemana?”, ungkapnya.

Komentar