SORONG, PBD – Dibalik senyumnya yang polos, Naura, bayi perempuan asal Sorong Selatan, Papua Barat Daya sedang berjuang melawan penyakit langka yang mengancam hidupnya yakni atresia bilier, sebuah kelainan pada saluran empedu yang hanya menyerang sekitar 1 dari 15.000 bayi di dunia.
Sang ibu, Dewi Saptawati menceritakan perjalanan panjang dan penuh ujian sejak buah hatinya dilahirkan prematur dengan berat sekitar 2 kilogram. Meski terlahir kecil, tanda-tanda yang dialami Naura cukup baik sehingga tidak memerlukan inkubator. Namun karena musim hujan, Naura tak pernah dijemur dan sejak awal, Naura sangat malas menyusu.
“Dibangunin pun nggak mau nyusu, maunya ya pas dia sendiri yang ingin. Sampai usia dua bulan, Naura masih kuning dan saya mulai merasa ini bukan kuning biasa,” ujar Sang ibu, Dewi Saptawati penuh kecemasan.
Dewi sempat teringat cerita ibunya bahwa dirinya dan saudara-saudaranya juga mengalami kuning saat bayi, bahkan ada yang sampai tiga bulan.
Namun insting sebagai ibu membuatnya memutuskan untuk membawa Naura cek laboratorium ke salah satu rumah sakit di Sorong. Hasilnya membuat Dewi terpukul, yakni bilirubin langsung (direk) Naura sangat tinggi, kondisi yang menandakan adanya masalah serius di hati atau saluran empedu.
Naura kemudian dirujuk ke Makassar, Sulawesi Selatan. Disana, dokter melakukan berbagai pemeriksaan lanjutan termasuk USG dan MRI lantaran saluran empedu Naura tidak terlihat jelas. Hasil akhirnya Naura didiagnosis atresia bilier, artinya saluran empedu Naura sangat kecil atau bahkan tidak terbentuk sama sekali.
Dokter di Makassar menyarankan operasi Kasai, prosedur awal untuk anak dengan atresia bilier. Namun saat itu usia Naura sudah 3 bulan 10 hari, sementara tingkat keberhasilan operasi tersebut maksimal jika dilakukan sebelum usia 3 bulan. Keluarga pun menolak operasi dan kembali ke Sorong.
Pada usia 6 bulan, Naura mengalami BAB hitam bercampur darah, sebuah kondisi yang memprihatinkan. Naura dibawa kembali ke Makassar, namun dokter menyatakan bahwa rumah sakit disana sudah tidak bisa menangani dan merujuk ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Di Jakarta, seluruh pemeriksaan ulang dilakukan dari nol, termasuk mata, otak, telinga, hingga jaringan hati. Diagnosis dari RS Wahidin Makassar akhirnya dikonfirmasi bahwa Naura positif atresia bilier.
Satu-satunya jalan hidup Naura hanyalah transplantasi hati. Namun tantangan tak berhenti di situ. BPJS hanya menanggung pasien utama (Naura), sedangkan biaya skrining pendonor yang sehat bisa mencapai Rp100 juta tidak ditanggung.
Dewi akhirnya membuka donasi di akun Facebooknya untuk memenuhi kebutuhan dana transplantasi hati.
Semangatnya sempat tumbuh kembali saat dana mulai terkumpul, namun prosedur transplantasi harus ditunda karena Naura belum menyelesaikan imunisasi campak lanjutan, yang hanya bisa diberikan setelah usia 18 bulan.
Sementara itu, kondisi Naura makin rentan terhadap komplikasi, seperti hipertensi portal yang bisa menyebabkan pendarahan hebat.
“Saya parno terus selama di Jakarta, karena banyak teman Naura sesama pasien atresia bilier gugur sebelum usia 1 tahun,” imbuhnya.
Dewi menyayangkan kurangnya fasilitas dan perhatian dari rumah sakit di daerah seperti Sorong dan Makassar. Jika saja Naura dapat diterima dan ditangani lebih serius sejak awal, mungkin perjuangan mereka tak harus sejauh ini.
Namun satu hal yang tak pernah padam dari Ibu Dewi yakni munculnya harapan baru.
“Ada banyak anak yang berhasil setelah transplantasi, bahkan bisa hidup normal. Itu yang membuat saya kuat,” ucapnya dengan penuh harap.
Diketahui Atresia bilier adalah kondisi langka di mana saluran empedu yang menghubungkan hati ke usus kecil tidak terbentuk atau tersumbat. Jika tidak segera ditangani, bisa menyebabkan kerusakan hati permanen dan kebutuhan transplantasi hati dalam usia sangat dini. (Jharu)
Komentar