SORONG, PBD – Penanganan kasus dugaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang diduga melibatkan oknum pejabat Raja Ampat berinisial YS terus menuai kritik tajam.
Sudah tiga minggu laporan dibuat, namun hingga Rabu (26/11/2025) Polda Papua Barat Daya belum juga mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Negeri Sorong.
Temuan ini membuat publik bertanya-tanya“Ada apa dengan kasus ini?”
Situasi tersebut mendorong puluhan aktivis perempuan, lembaga bantuan hukum, dan pendamping korban menggelar aksi demonstrasi di Taman Sorong City dan bergerak menuju Polda Papua Barat Daya, Kamis (26/11/2025).
Aksi ini dipimpin Nova Sroer sebagai korlap, didampingi Sekretaris Filep Imbir, aktivis perempuan Kota Sorong Novi Klasjok, serta aktivis Das Maya Ludya Mentansan serta simpatisan lainnya.
Mereka menegaskan bahwa dugaan pelanggaran seksual terhadap korban berinisial Bunga (18 tahun) adalah kasus serius yang tidak boleh diabaikan hanya karena melibatkan seorang pejabat publik.
“Ini bukan kasus biasa. Jangan main-main. Penegakan hukum harus jelas, transparan, dan tegas,” tegas Nova Sroer dalam orasinya.
“Kami akan mengawal ini sampai pejabat tersebut mendapatkan hukuman setimpal, ” lanjut Novi Klasjok.
Ludya Mentansan menambahkan bahwa kasus ini telah melukai martabat perempuan Papua.
“Korban mengalami tekanan mental luar biasa. Kami hadir untuk menguatkan dan memastikan Ia mendapatkan keadilan,” tegas Ludya.
Ketua LBH Kasih Indah Papua, Yance Dasnarebo, turun langsung ke Kejaksaan untuk menindaklanjuti laporan tersebut. namun belum ada SPDP dari pihak kepolisian.
“Kami sudah cek langsung ke Kejaksaan. Sampai hari ini tidak ada SPDP. Ini janggal dan menimbulkan tanda tanya besar,”ungkap Yance.
Akibat ketiadaan SPDP, proses penanganan yang seharusnya berjalan segera terkesan mandek dan jalan ditempat.
Para aktivis menyampaikan enam tuntutan resmi kepada Polda Papua Barat Daya, di antaranya:
- Segera memanggil dan memeriksa terlapor YS tanpa alasan penundaan.
- Memberikan perlindungan maksimal kepada korban dan saksi dari intimidasi.
- Mengusut dugaan intimidasi dari oknum aparat atau pihak lain.
- Mempercepat penyelidikan sesuai prinsip profesional, transparan, dan akuntabel sesuai UU 12/2022 tentang TPKS.
- Menyampaikan perkembangan penyidikan secara terbuka kepada publik.
- Menindak tegas aparat yang melanggar etik dalam penanganan kasus ini.
Para peserta aksi menilai lambannya penanganan, terutama ketiadaan SPDP, dapat memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Adapun kronologis yaitu korban Bunga, berusia 18 tahun, pada 21 September 2025 diperintahkan oleh ayah angkatnya pejabat YS untuk memijat kakinya. Namun, menurut pendamping hukum, tindakan itu berkembang menjadi perbuatan tak pantas, hingga membuat Bunga gemetar, menolak, dan mengalami trauma jangka panjang.
Korban sempat bungkam karena tekanan psikis, namun akhirnya mengungkapkan kejadian tersebut kepada orang tua kandungnya saat bertemu di Sorong.
Aapun pasal yang dilayangkan kepada oknum pejabat YS adalah pasal 289 KUHP tentang Perbuatan Cabul dan pasal 12 UU 12/2022 tentang TPKS dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Massa aksi menegaskan bahwa tidak boleh ada perlakuan istimewa terhadap pejabat publik dalam kasus kekerasan seksual. Mereka mendesak Polda Papua Barat Daya segera memberikan klarifikasi publik supaya tidak muncul dugaan impunitas.
Setelah menyampaikan tuntutannya, massa aksi pun meninggalkan lokasi dengan aman dan tertib. (oke)














Komentar