MERAUKE, PAPUA SELATAN – Dibalik kesuksesan, ada perjalanan panjang dan lika-liku kehidupan. Banyak orang sukses mengawali perjalanan karir yang sangat sulit dan jatuh bangun.
Jika selama ini Anda begitu mudah menyerah, maka tidak ada salahnya untuk melihat dan belajar dari kisah haru sosok inspiratif dari Kabupaten Asmat yang berjuluk Kota Seribu Papan.
Sorongnews.com mengulik kisah Thobias Tapumbi, sosok inspiratif dari Kampung Tareo, Distrik Safan, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Selatan.
Semasa kecil, pria yang akrab disapa Thobi ini sudah memilih keluar dari kehidupan keluarga sejak kelas 4 Sekolah Dasar (SD).
Dia meminta izin untuk tinggal dirumah guru-guru yang datang bertugas di Kampung Tareo.
Dari situlah, Thobi mulai belajar hal-hal baru seperti membersihkan rumah, mencuci pakaian, memasak, dan lain-lain hingga menamatkan jenjang sekolah dasar di SD Inpres Safan pada 1992.
Sadar berasal dari keluarga tak mampu dan memiliki 8 bersaudara, semakin tak menyurutkan langkah Thobi menjadi satu-satunya anak yang berupaya terus mengenyam pendidikan.
Karena berprestasi dan berkelakuan baik, Thobi memenuhi syarat mendapatkan beasiswa dari Keuskupan Agats untuk melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Agats, Asmat.
Thobi dengan penuh semangat siap berangkat dari kampung Tareo menuju Kota Agats.
Tiba-tiba ketika sampai di perahu, kedua orangtua Thobi yang ikut mengantarkan keberangkatan sang anak, memberikan sebuah bungkusan yang menjadi simbol pegangan hidup.
“Ketika saya berangkat sampai di perahu, Mama bawa turun satu bungkusan didalamnya berisi uang merah Rp 100 dibungkus tapim diikat dengan tali. Kemudian, Bapak memberikan 1 bungkusan panjang isinya parang. Bapak dan mama mengatakan, hari ini kondisi kita seperti ini tetapi dengan parang yang bapak kasih ini akan menghasilkan uang,” kenang Thobias Tapumbi kepada Sorongnews.com di ruang kerjanya Kantor Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Statistik dan Persandian Provinsi Papua Selatan, Kamis (9/3/23).
Setibanya di Kota Agats, Thobi tinggal di asrama Santo Martinus Depores Agats dan bersekolah di SMP YPPK Yohanes Pemandi Agats.
Jika anak lainnya dibiayai oleh orangtua membayar uang bulanan asrama, berbeda dengan Thobi.
Disela-sela waktu istirahat, belajar, bermain dan makan minum selama di asrama, Thobi menjalankan pesan sang ayah terhadap simbol parang yang diterima untuk mengais rejeki.
“Bapak bilang, dari parang ini anak bisa makan, beli pakaian, buku, kebutuhan sekolah dan membiayai engkau. Itu ternyata benar, bekal dari bapak bisa membiayai saya. Setiap pulang sekolah pukul 13.00 WIT, saya istirahat sebentar kemudian pukul 15.00 WIT saya ambil parang keluar asrama. Saya menawarkan diri babat rumput di kintal-kintal warga Agats,” ungkapnya.
Thobi mengaku terkadang bekerja serabutan untuk mendapatkan uang. Setiap hari bekerja, Thobi dibayar Rp 1.000 – 3.000. Uangnya dikumpulkan.
Kepala asrama pun menjadikan Thobi sebagai anak angkat untuk bisa membantu pekerjaan rumah. Namun saat naik kelas 3 SMP, orangtua angkat Thobi pindah tugas ke Distrik Sawaerma.
Akhirnya menitipkan Thobi kepada guru yang juga sepasang suami istri berdarah Jawa dan Cina yang baru datang bertugas di Agats.
“Saya dititipkan di guru yang satu lagi. Orang Jawa dan Cina yang saya anggap bapak dan mama sampai sekarang. Disini saya diperlakukan luar biasa seperti anak kandung. Tidak pernah kerja lagi, tinggal bangun tidur langsung mandi, makan minum, sekolah, belajar dan bermain. Sampai akhirnya saya lulus SMP di 1995,” lugasnya.
Thobi pun siap diboyong ke Jakarta untuk sekolah oleh guru tersebut yang kini beralih profesi di Bank Indonesia, apabila putera Papua asal Asmat ini tidak mendapatkan beasiswa SMA.
Ternyata Keuskupan Agats kembali memberikan beasiswa SMA kepada Thobi di SMA Taruna Dharma Kotaraja Jayapura hingga lulus tepat waktu pada 1998.
Lagi-lagi, Thobi dibiayai melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Fakultas Fisip Universitas Cenderawasih hingga diwisuda S1 Administrasi Negara tepat waktu pada 2002.
Komunikasi yang tak putus dengan kedua orang tua angkat dari Jakarta, Thobi sering mendapat kiriman uang yang digunakan untuk kursus komputer dan aktif berorganisasi di kampus atau lainnya selama satu tahun.
Selesai studi dengan meraih gelar sarjana, akhirnya Thobi pulang ke kampung halaman Tareo Asmat untuk pertama kalinya bertemu kedua orang tua dan keluarga yang telah ditinggalkan sejak SMP.
Momentum haru biru dan tangisan keluarga pun pecah mewarnai penyambutan Thobi dengan acara adat setempat.
“Uang dan parang yang menjadi 2 simbol pegangan saya menyelesaikan pendidikan sampai pulang kampung. Akhirnya saya tambah dengan ijazah. Jadi, 3 simbol ini saya kembalikan kepada bapak dan mama saat penjemputan saya tiba di Kampung Tareo. Syukur kepada Tuhan saat saya kembali, kedua orang tua masih hidup,” ucapnya.
“Memang saya tidak pernah pulang ke rumah sejak keluar kampung menuju kota untuk sekolah. Sampai anggapan orang tua dan saudara bahwa anak kita Thobi sudah meninggal atau dibawa lari perempuan Bugis. Hanya dua versi itu yang mereka kira, entah dapat informasi darimana,” tutur Thobias sembari tertawa.
Seiring berjalannya waktu, Thobi mulai mengabdi dan membantu di Keuskupan Agats.
Sembari merekrut remaja putus sekolah untuk semangat belajar meski Thobi belum mendapatkan pekerjaan.
Alhasil, Thobias merangkul dan mengumpulkan sebanyak 20 anak Kampung Tareo yang gagal pendidikan untuk kembali bersekolah.
“Tersisa 10 anak yang mau melanjutkan sekolah tanpa paksaan. Akhirnya saya pertemukan dengan kepala kampung, ketua adat, kepala sekolah dan orang tua. Empat tungku saya hadirkan untuk membantu adik-adik kembali sekolah. Saat itu mulai dari nol, tidak ada uang. Para orang tua saya sarankan agar pangkur sagu, bikin sagu tumang dan kupas kelapa tua. Syukur pada Tuhan, saya antarkan adik-adik menuju kota Agats untuk sekolah dengan membawa bekal hasil kebun untuk dijual. Uangnya digunakan membeli sepatu, peralatan sekolah dan makan. proses berjalan sampai 7 angkatan dan ada yang sudah menjadi PNS/ASN,” rincinya.
Kemudian, Thobi mendaftarkan diri sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada 2005.
Kini tibalah masa saatnya menggapai cita-cita masa kecil Thobi menjadi seorang abdi negara alias kepala distrik yang diperjuangkan selama belasan tahun sekolah dan menempuh banyak hal lika-liku kehidupan.
“Impian saya menjadi kepala distrik berawal dari kisah masa kecil. Saya melihat bapak sebagai aparatur dan om saya sebagai kepala kampung tertindas saat melakukan sedikit kesalahan,” jelas pria kelahiran 1978.
“Disitu mulai membangkitkan saya untuk semangat bisa jadi kepala distrik namun tidak menjadi pribadi negatif, bukan mau menindas, tidak boleh menganggap lebih hebat tapi harus jadi pribadi positif. Semakin kita mendapat posisi jabatan tinggi maka semakin merendah, tidak boleh ego dengan jabatan yang kita peroleh,” sambung Thobi.
Menurut Dia, setiap orang memiliki kemampuan dan keterbatasan. Kekurangan orang lain harus dibantu begitupun sebaliknya. Hal itulah yang selalu diterapkan Thobi sejak 2005 diterima sebagai CPNS.
Bahkan pada 2008, Bupati Asmat, almarhum Yuvensius Biakai pernah menawari Thobi menjadi kepala distrik yang sudah menjadi impiannya sejak kecil namun ia menolak karena kala itu pangkat dan golongannya masih 3d.
Thobi lebih senang meniti karir dari nol dengan prestasi. Mulai jadi staf biasa yang merupakan angkatan pertama setelah pemekaran 3 kabupaten dari Merauke hingga Thobi memperoleh jabatan mentereng seperti kepala seksi, kepala bagian, kepala bidang di 8 instansi Pemerintah Kabupaten Asmat berkat kinerja yang baik.
Pada 2010, Thobi melanjutkan pendidikan (S2) Magister Ilmu Pemerintahan di Universitas Langlang Buana Bandung.
Dia sempat menjabat Kabag Humas Setwan DPRD Kabupaten Asmat dan terakhir menjabat sebagai Kabid Kepemudaan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kabupaten Asmat. Namun, Thobi harus mengalami hal pahit di non job kan pada 2022 lalu.
“Sekalipun terakhir saya menerima di non job kan di Kominfo Kabupaten Asmat karena percaturan politik pada 2022. Saya harus bertahan di Asmat sambil berfikir perbaiki status jabatan menjadi kasie atau apa, saya tidak pernah memimpikan jabatan besar,” katanya.
Tak diduga, Thobias Tapumbi kini mendapat kepercayaan dari Penjabat (Pj) Gubernur Provinsi Papua Selatan, Apolo Safanpo untuk menduduki jabatan sebagai Plt Kepala Dinas Kominfo, Statistik dan Persandian Provinsi Papua Selatan.
“Saya tidak pernah mengira akan memperoleh jabatan di Pemerintah Provinsi Papua Selatan. Amanah yang diberikan oleh pimpinan di Pemprov Papua Selatan, pada dasarnya saya akan melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebaik-baiknya,” aku Thobi.
“Memang latar belakang saya bukan Kominfo tapi dasar-dasar kita harus belajar dari nol. Ibarat, saya selaku pimpinan bisa mengupayakan untuk seluruh staf dibawah itu teknis yang paham. Atau sebaliknya, kalau pimpinan latar belakang dari Kominfo lalu staf tidak paham maka tugas saya mengajari. Bagi saya belajar itu tanpa batas. Kita tidak boleh malu dan menganggap diri hebat,” sebutnya.
Thobi menaruh harapan besar kepada generasi muda 4 kabupaten di Papua Selatan untuk berjuang menjejaki jalan lebuh maju.
“Harapan saya kepada pemuda kader terbaik Provinsi Papua Selatan di 4 kabupaten agar bisa mengikuti jejak senior. Kelemahannya jangan diikuti. Ambillah yang terbaik. Kita manusia semua sama, punya kekurangan dan kelebihan. Orang yang mau maju harus dengar-dengaran. Kita star hari ini untuk meraih cita-cita. Putera-puteri Papua Selatan mari maju bersama, semangat jiwa raga, patuhlah terhadap tanggungjawab yang diemban,” tandas Plt Kadis Kominfo Statistik dan Persandian Provinsi Papua Selatan. (Hidayatillah)
Komentar