Petani Merugi Karena Cuaca Ekstrim di Tengah Pandemi

Papua Barat menjadi provinsi dengan persentase kawasan hutan terbesar, yakni 87,3%. Persentase itu didapatkan dari luas daratan Papua Barat sebesar 9,6 juta ha, sementara kawasan hutannya mencapai 8,39 juta ha. Memiliki luasan hutan terbesar di Indonesia, mungkinkah Wilayah Papua Barat terdampak perubahan iklim?

SORONG, – Terik mentari menyinari sawah pagi ini, perlahan mengeringkan sisa hujan semalam. Jalan menuju sawah yang becek dan air tergenang disekitar sawah membuat petani merasa khawatir. Petani itu bernama Imam Ashari atau yang sering dipanggil pak Amat. Usianya saat ini 45 tahun, warga Jalan Apel Malawili ini baru saja sampai di sawahnya.

____ ____ ____ ____

Ia mencoba peruntungan dengan menjadi petani di Kabupaten Sorong, Papua Barat sejak 4 tahun silam. Diawal kedatangannya di Sorong, selain bertani di sore hari, ia juga bekerja sebagai kuli bangunan di waktu pagi hingga menjelang sore.

Ia adalah petani asal Banyuwangi, Jawa Timur yang mengadu peruntungan diwilayah Papua Barat, sebelum membulatkan tekan merantau, ia sudah berprofesi sebagai petani di tanah kelahirannya, Banyuwangi.

Kaos krem muda berkerah merah yang dipakai merupakan kaos hadiah dari Toko Pertanian tempatnya biasa membeli alat pertanian. Topi lusuh abu-abu pun masih bertengger di kepalanya yang lesu.

Turun dari sepeda motor bututnya, wajah Pak Amat tampak lesu dan kurang bersemangat. Karena tanaman melon yang ia tanam 3 bulan lalu, serta pembibitan yang ia lakukan hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Hujan yang berkepanjangan disertai angin telah merendam dan menumbangkan sebagian besar pohon melonnya yang hampir siap panen.

Kondisi tanaman melon yang gagal panen milik pak Amat. Doc. Sya

Awalnya, dia berharap tanaman melon dan pembibitan yang dilakukan bisa berhasil dan memberikan keuntungan untuk menghidupi keluarganya, lebih-lebih dimasa pandemi yang serba sulit saat ini.

“Setahun terakhir saya gagal panen sudah 3 kali, ditambah gagal proses pembibitan dan penyemaian, kalau dikalkulasi hampir 75 persen gagal,” kata Pak Amat sambil memperlihatkan bibit melon yang gagal, saat disapa Sorongnews.com, Selasa (28/12/21).

Bibit melon itu, kata Pak Amat, tidak tahan hama dan cuaca ekstrim, tidak seperti dirinya yang kuat bertahan hidup meski dilanda kegagalan dan pandemi Covid-19.

Pak Amat menuturkan, kondisi cuaca yang kurang bersahabat dalam proses menanam melon membuat melon yang siap panen membusuk dimakan ulat dan timbul jamur. Sehingga dirinya harus merugi puluhan juta.

Ia juga mengungkapkan, menjadi petani bukan tanpa tantangan, selain dimasa pandemi yang serba sulit, cuaca diwilayah Sorong saat ini tidak menentu, yang terjadi di periode sebelumnya berbeda dengan tahun berikutnya.

Pak Amat juga bukan pemilik lahan pertanian yang ia garap saat ini. Ia hanya buruh tani yang menyewa sawah untuk mencari penghasilan. Lahan yang Ia sewa seluas 5000 meter persegi. Namun ia enggan menyebut biaya sewanya “bertani ini kadang untung, kadang rugi. Panen kemarin saya hanya dapat 6 juta, biasanya sampai 20 juta, untuk satu petak dengan lahan 2000 meter persegi,” kata dia dengan wajah sedikit lesu.

Pak Amat hanya salah satu potret petani di Kabupaten Sorong yang berjuang ditengah pandemi Covid-19 dan cuaca yang tidak menentu sejak setahun terakhir. Meskipun ia menghadapi beragam persoalan, mulai masalah gagal panen hingga gagal proses pembibitan, ia tetap bersemangat untuk bertani. (*)

Oleh : Saiful Umam

Komentar