MERAUKE, PAPUA SELATAN – Sagu merupakan salah satu pangan lokal tertua di kawasan Indonesia Timur, bahkan 90 persen populasi sagu berada di Papua. Hanya saja saat ini, eksistensi sagu perlahan-lahan mulai terkikis apalagi dikalangan anak muda.
Fenomena tersebut mendorong Putlizer Center bekerjasama dengan beberapa dosen Universitas Musamus (Unmus) menggelar workshop secara hybrid dengan mengusung tema ‘Perubahan Kultur Pola Pangan Penyebab Gastro-kolonialisme Masyarakat Merauke’.
Dihadiri oleh dosen-dosen Universitas Musamus, tokoh masyarakat, komunitas lokal Kosama Institute Indonesia dan kurang lebih 60 mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada 19 Desember 2023 di Aula PKM Universitas Musamus Merauke.
Jurnalis Sains dan Lingkungan Hidup harian Kompas, Ahmad Arif yang juga sebagai pemateri menjelaskan, dampak dari larangan berladang sejak tahun 2015.
Diantaranya, menghancurkan ketahanan pangan lokal, memicu ketergantungan pangan, memicu krisis kesehatan, hilangnya keanekaragaman hayati, memicu krisis sosial-ekonomi-budaya (pernikahan remaja, dan lain-lain), serta memperluas kerusakan lingkungan (tambang emas, dan sebagainya).
Beberapa data hasil pengamatan lapangan yang telah dilakukan Arif terkait Gastro-kolonialisme juga dipaparkan dalam kegiatan tersebut.
Menjelang akhir presentasinya, jurnalis kompas ini menampilkan cuplikan vidio yang viral dimedia sosial, dimana seorang warga lokal di Papua, menukar hasil kebun mereka dengan makanan mie instan dan beras. Meskipun lokasinya bukan di Merauke, tetapi gejala sosial seperti yang ditampilkan tersebut menjadi gambaran nyata bagaimana pangan lokal masyarakat perlahan-lahan mulai ditinggalkan.
Berbeda halnya dengan Ketua Prodi Teknik Pertanian Universitas Musamus, Dr. Mega Ayu Yusuf, M.Si justru lebih banyak mengulik tentang sagu dan produk turunannya sebagai pangan pokok yang sehat dan bergizi. Dalam pemaparannya, ia menjelaskan bagaimana gizi pati sagu dapat diolah menjadi makanan yang bergizi dan sehat.
Selain itu, Dr Mega juga menjelaskan, fungsi makanan tidak hanya mengenyangkan, tetapi juga menyenangkan. Sagu sebagai pangan lokal seharusnya tidak hanya diolah secara tradisional, tetapi juga modern sehingga dapat memberi nilai ekonomi yang lebih bagi masyarakat.
Perempuan energik ini mengajak seluruh mahasiswa untuk dapat lebih kreatif dalam mengolah pangan lokal agar menjadi produk yang bernilai dan bergengsi di mata dunia.
Dikesempatan yang sama, tokoh masyarakat, Rahmat Amin Kaize yang juga sebagai pemateri dalam kegiatan menceritakan bagaimana pengalamannya sebagai anak rantau di Merauke.
Rahmat Amin Kaize atau yang akrab disapa tete Amin dulunya berasal dari Kampung Wambi, distrik Okaba.
Kurang lebih 20 tahun ia merantau ke Merauke dan merasakan bagaimana perubahan kultur pangan, dari yang semasa kecil sering makan sagu tetapi setelah merantau sudah mulai jarang makan sagu karena tidak terdapat pohon sagu di tempat tinggalnya saat ini.
“Pohon sagu tidak bisa tumbuh di tempat kami karena dekat laut, sementara harga beras lebih murah daripada sagu,” ucapnya.
Dari cerita tete Amin, dapat disimpulkan bahwa salah satu hal yang secara tidak langsung menjadi sebab kepunahan sagu atau rendahnya eksistensi sagu, yakni karena perpindahan penduduk (translokal), dari yang dulunya dapat memakan sagu secara gratis, sekarang harus membeli sagu sendiri.
Selain literasi pangan lokal, Ratu Bulkis Ramli, M.Pd dan Sri Hanipah, M.Pd selaku dosen dan peneliti juga memaparkan hasil temuan lapangan terkait pergeseran kultur pangan akibat gastrokolonialisme di Merauke.
Setelah melakukan penelitian ditiga kampung berbeda yaitu kampung Baidub, Kampung Payum, dan Kampung Yangandur, mereka melihat adanya pergeseran kultur pangan masyarakat saat ini.
Di Kampung Baidub, anak-anak dan remaja lebih cenderung mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok dibandingkan sagu dan umbi-umbian. Sementara orang dewasa dan lansia lebih senang memakan sagu sehari-hari.
Mereka hanya akan makan nasi sesekali, karena sagu dianggap lebih mengenyangkan. Sementara di kampung Payum, sebagian besar masyarakat mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok karena lokasi mereka tidak memungkinkan untuk tumbuhnya pohon sagu.
Begitu pula yang terjadi di kampung Yanggandur, anak-anak dan remaja mulai mengonsumsi beras sebagai makanan pokok, sekalipun pohon sagu masih tumbuh dan mudah diakses oleh masyarakat.
Dia mengungkapkan, sagu sebagai pangan lokal masyarakat mulai terkikis eksistensinya. Sagu mulai dipandang sebagai makanan kelas nomor dua, karena dianggap kurang bergengsi apalagi di kalangan anak muda.
Selain itu, sebagian masyarakat yang tinggal di pinggiran kota Merauke menganggap bahwa beras lebih praktis dan ekonomis dibandingkan sagu.
Pada kesempatan ini, kedua dosen tersebut mengajak mahasiswa untuk terus bangga makan sagu, karena sagu bukan hanya tentang makanan tapi juga bentuk kearifan lokal yang harus dijaga dan terus dilestarikan oleh generasi muda. (Hidayatillah)
Komentar