SORONG, PBD – Suara tembakan yang merobek Rabu (27/8) siang kini menyisakan luka mendalam bagi sebuah keluarga kecil di Sorong. Sang ayah, yang menjadi korban penembakan, kini terbaring di rumah sakit, untuk mempertahankan nyawanya. Di rumah, istrinya menunggu dengan hati yang digelayuti cemas, sambil menggendong bayi mereka yang baru beberapa bulan lahir.
Ditengah keterbatasan biaya dan kondisi keluarga yang terpuruk, seorang bayi bernama Phiten Welerubun (3 bulan 2 minggu) harus berjuang melawan penyakit hidrosefalus dan jantung bocor.
Hingga kini, Phiten belum mendapat penanganan medis memadai lantaran rumah sakit di Sorong hanya menyarankan rujukan keluar daerah tanpa ada kepastian.
Phiten merupakan anak pasangan Deviana Tiba dan Michael Welerubun, warga Kelurahan Malawei, Distrik Sorong Manoi, Kota Sorong.
Sejak usia tiga minggu, kepala bayi mulai membesar secara tidak normal. Setelah dibawa berobat ke Puskesmas Malawei dan dirujuk ke sejumlah rumah sakit di Sorong, keluarga baru mengetahui bahwa buah hati mengidap hidrosefalus dan jantung bocor.
Namun, penanganan medis tak kunjung dilakukan. Rumah sakit hanya menyarankan agar pasien dirujuk ke Makassar, Sulawesi Selatan.
“Waktu lahir belum kelihatan. Sampai umur 3 minggu baru kelihatan. Kami bawa ke Puskesmas Malawei, lalu dirujuk ke RS Herlina, RS JP Wanane Km 22, hingga RS Sele Be Solu. Dokter bilang anak saya kena hidrosefalus dan jantung bocor. Namun sampai sekarang belum ada obat, hanya diminta rujukan ke Makassar, tetapi tidak ada kepastian,” ungkap Deviana Tiba, ibu Phiten dengan mata berkaca-kaca, Rabu (10/9/25).
Kondisi keluarga makin sulit setelah ayah bayi, Michael Welerubun menjadi korban penembakan dalam kericuhan Kota Sorong pada akhir Agustus lalu. Michael kini terbaring lemah di rumah sakit sehingga perhatian dan konsentrasi keluarga terpecah.
“Kami berusaha minta rujukan lagi, tetapi bapaknya sekarang sakit karena kena luka tembak. Jadi kami urus bapaknya dulu,” paparnya.
Deviana menceritakan, kondisi Phiten semakin parah. Bayi mungil itu kini sering muntah, rewel sepanjang malam dan tubuhnya makin lemah. Bahkan, sempat dilakukan transfusi darah karena kadar darahnya menurun.
Sayangnya, pihak keluarga mengaku tidak mendapat obat maupun bantuan medis lanjutan dari rumah sakit.
“Sekarang ade muntah-muntah. Selama ini belum ada bantuan dari pemerintah. Kami hanya pakai uang pribadi. Dari rumah sakit juga tidak ada obat, hanya bilang harus rujuk ke luar kota,” bebernya.
Menurut keterangan dokter, Phiten membutuhkan penanganan lebih lanjut di luar daerah, termasuk operasi untuk menutup kebocoran pada jantung. Namun, biaya menjadi kendala utama.
Dengan kondisi serba terbatas, Deviana hanya bisa berharap ada uluran tangan dari pemerintah maupun pihak dermawan. Hingga kini, ia mengaku belum ada bantuan resmi yang diterima keluarga, padahal kondisi Phiten semakin kritis.
“Kami harap ada yang bisa bantu. Saya hanya mau anak saya bisa sembuh,” tuturnya.
Kisah pilu keluarga pasangan Deviana Tiba dan Michael Welerubun ini menjadi cermin betapa masih banyak masyarakat kecil di Papua Barat Daya yang kesulitan mengakses pelayanan kesehatan memadai.
Ditengah keterbatasan, keluarga ini hanya menggantungkan harapan pada kepedulian berbagai pihak untuk menyelamatkan nyawa bayi kecil yang tengah berjuang melawan sakitnya. (Jharu)
Komentar