oleh

Ada Apa Dengan Stunting ?? Dulu Dihindari Sekarang Dicari

“Tidak akan kelaparan seseorang jika hidup di dalam lumbung padi,” kiasan itu tergambar pada situasi masyarakat di Pulau Papua. Dikelilingi sumber daya alam yang melimpah, sangat tidak masuk akal, jika warga dan masyarakat yang mendiami Pulau Papua dinyatakan kurang gizi ataupun stunting.

Lapar, masyarakat bisa mengambil bahan dari kebun, atau memancing di laut atau kolam air tawar. Bahkan sampai ada kiasan, lempar akar tumbuh hutan, bagi siapa saja yang mau bekerja keras, apapun bisa menjadi uang untuk kemudian dibelikan bahan makanan.

Belakangan ini, Stunting menjadi salah satu pembahasan hangat mulai dari kalangan anak usia PAUD, anak sekolah, Ibu-Ibu rumah tangga, hingga pembahasan hangat dimeja pemerintahan.

Stunting sendiri apabila diringkas dari berbagai sumber, merupakan kejadian kekurangan gizi pada bayi di 1000 hari pertama kehidupan yang menyebabkan terhambatnya perkembangan tumbuh kembang anak dan daya tangkap anak.

Akibat kekurangan gizi yang diawali dari dalam kandungan hingga pertumbuhan, kebanyakan anak stunting tumbuh lebih pendek dari standar tinggi balita seumurnya. Terjadinya perlambatan pada daya motoric dan sensorik anak.

Masalah stunting penting untuk diselesaikan, bahkan Provinsi termuda di Indonesia, Papua Barat Daya melalui Penjabat Gubernurnya, DR. Muhammad Musaad, M.Si mengeluarkan kebijakan program Jambu hidup yaitu jaminan pertumbuhan kehidupan sejak 1000 hari dimulai dari dalam kandungan, asupan ASI hingga anak berusia 2 tahun.

Bukan saja di Papua Barat Daya, sejumlah provinsi pemekaran di Papua pun dipastikan melakukan hal serupa. Selain menjadi program nasional, permasalahan stunting di Papua sangat perlu diselesaikan mengingat stunting dapat berpotensi mengganggu potensi sumber daya manusia dan berhubungan dengan tingkat kesehatan, bahkan kematian anak.

Dikutip dari halaman kementerian kordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) menegaskan bahwa Provinsi Papua Barat dan Barat Daya menjadi Wilayah Ke-23 dan 24 yang di sisir permasalahan stunting serta kemiskinan ekstremnya oleh Kemenko PMK.

Sebelumnya dalam dialog, Bupati Pegunungan Arfak Yosias Saroy menyampaikan bahwa Kabupaten Pegunungan Arfak menjadi wilayah yang angka stuntingnya paling tinggi di Papua Barat yaitu sebesar 51,5 persen. Hal tersebut karena minimnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan, seperti rendahnya cakupan bayi yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap, kurangnya sarana dan prasarana air bersih yang layak, serta masih ditemukan balita yang tidak mendapatkan makanan tambahan.

“Harapan kami pemerintah pusat dapat memberikan bantuan dalam pembangunan sarana dan prasarana air bersih, serta pembangunan Puskesmas, Puskemas Pembantu, dan Polindes untuk memenuhi standar kesehatan,” urai Bupati Pegunungan Arfak Yosias Saroy.

Sementara itu, Kabupaten Teluk Bintuni memiliki angka stunting paling rendah, yakni sebesar 22,8 persen. Sedangkan rata-rata nasional 21,6 persen pada 2022. Bupati Teluk Bintuni, Petrus Kasihiw, mengatakan telah melakukan pemetaan program untuk penyediaan intervensi gizi spesifik dan sensitif.

“Sebelumnya kami melakukan pendataan terhadap berbagai data yang ada di lapangan. Seperti sebaran sarana dan prasarana kesehatan, ketersediaan jaringan sumber daya air yang telah terbangun. Serta pendataan program-program terkait kesiapan maupun ketersediaan bahan makanan bergizi bagi masyarakat Teluk Bintuni,” paparnya.

Setelah pendataan tersebut dilakukan Pemkab Teluk Bintuni memutuskan program apa saja yang akan direkomendasikan perbaikan alokasinya. Baik melalui realokasi ataupun penambahan alokasi program. Kemudian mendorong konvergensi program intervensi spesifik dan sensitif yang mendukung penurunan stunting hingga tingkat desa atau kelurahan.

Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, angka stunting di wilayah Papua Barat sebesar 30 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan sebanyak 3,8 persen. Pada tahun 2021 sebesar 26,2 persen pun demikian dengan wilayah Papua Barat Daya dan provinsi lainnya di Papua.

Kemiskinan Ekstrem Turun

Lebih lanjut, tingkat kemiskinan ekstrem di Provinsi Papua Barat mengalami penurunan dari tahun 2021 sebesar 10,28 persen menjadi 9,43 persen di tahun 2022. Hal yang sama juga dialami oleh Provinsi Papua Barat Daya dimana angka kemiskinan esktremnya turun dari 9,05 persen menjadi 7,37 persen.

Kabupaten Sorong merupakan salah satu wilayah dengan angka kemiskinan ekstremnya menurun, yakni sebesar 14,86 persen di tahun 2021 menjadi 12,09 persen pada tahun 2022. Hal tersebut menurut Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Sorong Suroso, dipicu oleh program kemitraan dan peningkatan akses layanan dasar serta konektivitas wilayah.

Sehingga tak ada salahnya, jika penanganan stunting menjadi salah satu factor pemicu terjadinya kemiskinan ekstrim di wilayah Papua yang menurut sebagian masyarakatnya tidak akan kelaparan seseorang jika tinggal di Papua karena limpahan Sumber Daya Alamnya yang melimpah.

Namun pada kenyataannya, kekurangan gizi menjadi salah satu fenomena tersendiri di Papua. Akses pelayanan kesehatan, infrastruktur dan aspek sosial menjadi kendala terbesar.

Jika dahulu, pemberitaan terkait stunting atau gizi buruk sangat dihindari oleh pemerintah daerah, maka saat ini, seakan-akan semua anak Indonesia dinyatakan stunting.

Jika pemberitaan gizi buruk, pemda sibuk menampik itu bukan gizi buruk, namun sekarang berbeda terbalik. Pemberitaan media massa dipenuhi strategi-strategi pencegahan dan penanggulangan stunting.

Usai mengetahui bahwa angka prevalensi stunting di Papua khususnya Papua Barat Daya meningkat dari tahun sebelumnya, Provinsi termuda menyiapkan anggaran sebesar Rp112 Miliar untuk mengatasi stunting di provinsi yang memiliki 5 kabupaten dan 1 kota itu.

Penguatan, pencegahan dilakukan dalam berbagai seminar, workshop, pelatihan di dalam ruangan yang diikuti peserta lintas suku, agama, profesi dan latar belakang.

Sedangkan di lapangan, kader Posyandu, Pelayanan Kesehatan Puskesmas sebagai ujung tombak pencegahan dan penanganan stunting terus bekerja dengan memberikan sosialisasi.

Mulai dari sosialisasi pemberian penambah darah bagi gadis usia remaja yang duduk di bangku SMP, sosialisasi bagi Ibu hamil dan sejumlah guru PAUD dan TK dilakukan agar stunting tidak menganggu pertumbuhan perekonomian daerah.

Bahkan salah satu perguruan tinggi, membuatkan sebuah aplikasi untuk pencegahan stunting yang dinamakan Sorting atau Sorong Atasi Stunting untuk memudahkan pelacakan stunting di Distrik Sorong Timur.

Namun sayangnya, penanganan di bagian bawah masih dianggap kurang maksimal karena hanya berharap dari petugas Kesehatan puskesmas atau posyandu yang terbatas sumber daya manusianya.

Oleh karena itu, penanganan yang tepat, cepat dan tuntas perlu dilakukan oleh Pemprov Papua Barat Daya dalam menentukan arah kebijakan penanganan stunting di wilayah tersebut. Jangan sampai ada ungkapan bahwa program ini hanya untuk proyek buang anggaran, karena hampir semua OPD memprogramkan dan menganggarkan penanganan stunting.

Kami warga Papua Barat Daya tentunya berharap, perhatian semua pihak untuk turut membantu keluarga, tetangga sekitar dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yaitu makan dan minum. Jangan sampai keluarga, tetangga kita kekurangan asupan makan dan minum. Kita bersama-sama diajak untuk peka terhadap fenomena sosial saat ini, jangan sampai anak-anak generasi emas Papua kekurangan gizi akibat tidak dapat makan dan minum bergizi. (olha Irianti/pemred sorongnews.com)

Komentar