Klarifikasi Polemik Reklamasi DLHKP Papua Barat Daya Tegaskan Izin Lingkungan BJA Sesuai SOP

SORONG, PBD – Polemik terkait reklamasi di wilayah pesisir Kota Sorong kembali mencuat setelah mantan Wali Kota Sorong Lamberthus Jitmau mengungkap adanya dugaan pelanggaran prosedur dalam pemberian izin lingkungan.

Dugaan tersebut memunculkan sorotan publik terhadap proyek reklamasi yang dikerjakan oleh PT Bagus Jaya Abadi (BJA) dan keterlibatan sejumlah pihak.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertanahan (DLHKP) Provinsi Papua Barat Daya Julian Kelly Kambu memberikan klarifikasi tegas bahwa proses pemberian izin lingkungan terhadap PT BJA telah dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

“Proses perizinan sudah sesuai mekanisme dan tidak ada yang dilanggar. Semua tahapan AMDAL telah diikuti oleh BJA,” ujar Kelly Kambu kepada sejumlah awak media, Senin (13/10/25).

Ia menyatakan bahwa DLHKP mendukung proses hukum jika memang ditemukan pelanggaran. Bahkan, jika ada pegawai yang terbukti menyalahgunakan kewenangan, pihaknya mendukung agar diberikan sanksi berat.

“Kami mendukung pernyataan Bapak Mantan Wali Kota. Jika memang ada pelanggaran, tentu harus ditindak sesuai hukum. Pegawai yang melanggar juga harus mendapat sanksi berat,” tegasnya.

Lebih lanjut, Kelly menegaskan bahwa instansinya bersikap netral dan tidak memihak kepada pihak mana pun, termasuk kepada Labora Sitorus, yang juga disebut-sebut dalam polemik ini.

Berdasarkan data dan dokumen yang ada, hanya PT BJA yang tercatat secara resmi mengikuti seluruh tahapan penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Proses tersebut mencakup Konsultasi publik, Penyusunan kerangka acuan, Analisis dampak lingkungan, Rencana pengelolaan lingkungan hingga Rencana pemantauan lingkungan,” ucapnya.

Semua dokumen tersebut, kata Kelly, telah dibahas secara resmi oleh Komisi AMDAL Pemerintah Kota Sorong, lengkap dengan dokumentasi foto sebagai bukti pendukung.

“Pembahasan AMDAL sudah dilakukan secara menyeluruh. Kalau diperlukan, kami bisa sediakan dokumentasi dan bukti foto-fotonya,” ungkapnya.

Dirinya menyebut, izin lingkungan untuk PT BJA diterbitkan pada 7 November 2013, setelah semua tahapan AMDAL selesai. Ia mengingatkan bahwa berdasarkan UU 32/2009, penerbitan izin lingkungan tanpa dokumen AMDAL yang sah merupakan tindakan pidana, dengan ancaman hukuman 3 tahun penjara dan denda hingga Rp3 miliar.

Dalam penjelasannya, Kelly turut menyoroti perubahan kewenangan pengelolaan wilayah laut. Menurutnya, sejak diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 2014, kewenangan pengelolaan laut dari 0–12 mil diambil alih oleh pemerintah provinsi.

“Artinya, saat ini bukan lagi menjadi kewenangan wali kota atau bupati. Yang berwenang memberikan izin adalah gubernur,” jelasnya.

Terkait hal itu, ia menyampaikan bahwa saat ini Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya sedang melakukan peninjauan ulang terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Ia mendorong seluruh pihak yang hendak melakukan reklamasi untuk menyampaikan dokumen resmi kepada gubernur dan mengikuti mekanisme perizinan sesuai Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Reklamasi tidak dilarang, tapi wajib mengikuti prosedur yang ada. Jangan sampai melanggar aturan,” imbuhnya.

Dalam kesempatan itu, Kelly turut mengklarifikasi bahwa hingga saat ini DLHKP belum pernah melihat atau menerima dokumen AMDAL maupun izin lingkungan atas nama Labora Sitorus.

“Yang kami tahu hanya BJA yang mengurus AMDAL di lokasi tersebut. Kalau atas nama Labora Sitorus, kami belum pernah lihat atau terima dokumennya,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa dalam satu lokasi reklamasi, hanya diperbolehkan satu perusahaan yang mengurus dan mendapatkan izin AMDAL. Hal ini untuk menghindari tumpang tindih dan konflik kepentingan.

Diakhir keterangannya, Kelly menyarankan agar polemik ini diselesaikan melalui mekanisme non-litigasi atau di luar pengadilan. Ia menilai bahwa penyelesaian secara administratif atau musyawarah lebih cepat dan efisien daripada proses hukum yang berkepanjangan.

“Kalau bisa, selesaikan lewat jalur administratif. Lebih cepat dan tidak melelahkan semua pihak,” tandasnya. (Jharu)

Komentar