Transformasi Kampung Waifoi, dari Pemburu Menjadi Penjaga Surga Tersembunyi di Ujung Dermaga

RAJA AMPAT, PBD — Diujung Pulau Waigeo, tempat hutan mangrove memeluk lautan dan suara burung menggema dari balik rimbun pepohonan, tersembunyi sebuah kampung bernama Waifoi.

Hening, tenang, dan asri seolah waktu berhenti berputar disini. Aroma rawa yang khas berpadu dengan nyanyian burung nuri, kakaktua raja, dan jambul kuning yang bersahutan, beterbangan bebas diantara dedaunan.

Mencapai kampung ini, butuh lebih dari sekadar perjalanan fisik. Dari pelabuhan Waisai, wisatawan harus menempuh perjalanan laut sekitar satu jam menggunakan speedboat, kemudian masih diatas perairan nan biru, wisatawan harus berpindah ke perahu body besar menyusuri sungai berliku yang dipagari hutan mangrove raksasa.

Tak ada deru kendaraan, tak ada bising mesin hanya desir angin dan gemericik air yang menuntun laju perahu menuju dermaga kecil yang disebut warga sebagai Saupon, yang berarti dermaga terakhir.

Namun, siapa sangka dibalik ketenangan itu tersimpan kisah panjang tentang perubahan, kesadaran, dan harapan yang tumbuh dari tangan-tangan sederhana.

Beberapa tahun silam, kehidupan masyarakat Waifoi yang terdiri dari 4 marga yaitu Gaman, Dawa, Warkaku dan Nok tak berbeda jauh dari kampung lain di pedalaman Papua. Alam dijadikan sumber penghidupan tanpa batas. Hutan ditebang untuk dijual dan dijadikan kayu bakar. Burung-burung endemik seperti kakaktua raja, nuri kepala hitam dan kakaktua jambul kuning ditangkap untuk dijual. Harga seekor burung kala itu hanya Rp10.000 hingga Rp50.000 perekor, namun bagi warga, itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Dulu setiap orang bebas ambil burung di hutan. Tebang pohon buat dipakai kayu bakar. Kalau dapat banyak, bisa bawa pulang uang,” kenang Zakarias Gaman, warga Waifoi yang kini menjadi Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Waifoi, saat berbincang dengan sejumlah wartawan yang berkunjung di Saupon Villlage Adventure, Kampung Waifoi, Raja Ampat, Sabtu (4/10/2025).

Tak ada yang berpikir bahwa cara hidup itu perlahan menggerogoti kekayaan alam dan menyisakan air mata bagi anak cucu mereka. Hingga pada 2018, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat bersama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Refinery Unit VII Kasim datang membawa perubahan.

Melalui program kemitraan konservasi, Pertamina RU VII Kasim bersama BBKSDA Papua Barat mengajak masyarakat untuk melihat potensi lain dari alam. Mereka dikenalkan pada gagasan bahwa hutan tak hanya sumber kayu dan burung, tetapi juga sumber rezeki jika dijaga dengan bijak.

“Memang tidak mudah mengajak warga untuk berhenti menebang dan berburu, tapi kami berpikir panjang, bahwa kami hidup bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk anak cucu. Jangan sampai kami meninggalkan air mata buat mereka,” sambung Zaka, sapaan akrab Zakarias.

Prosesnya tak instan. Perlu waktu dan pendekatan yang penuh kesabaran. Perlahan tapi pasti, wajah Kampung Waifoi berubah. Warga yang dulu menebang kini menanam. Mereka yang dulu berburu, kini menjadi pemandu wisata burung. Mereka yang dulu menebang pohon, kini menjadi pemandu wisata tracking ke puncak gunung. Kesadaran kolektif itu melahirkan sesuatu yang indah di Saupon Adventure Village.

Awalnya, hanya ada dua homestay sederhana berdinding papan dengan atap pelepah daun sagu. Dapur umum berdiri di bawah terpal plastik seadanya, menjadi tempat berkumpul, berbagi cerita, dan memasak makanan untuk tamu. Tapi dari tempat sederhana itulah, tamu pertama datang seorang turis dari Afrika yang terpukau oleh keaslian Waifoi.

Kini, Saupon Adventure Village telah memiliki lima kamar homestay dan dapur permanen berukuran 9×7 meter persegi. Penginapan di sini bukan sekadar tempat tidur, tapi pengalaman yang tak terlupakan. Pengunjung bisa merasakan langsung kehidupan lokal, memanen sagu secara tradisional, menyusuri hutan mangrove, menangkap ikan malam hari dengan tombak dan obor (balobe), hingga mengajar anak-anak kampung selama 15 menit, sebagai bentuk berbagi ilmu dan budaya.

Pengelola Saupon Adventure Village menunjukan sejumlah dokumentasi atraksi di tempat tersebut yang bisa diikuti wisatawan/oke

Biaya menginap sebesar Rp550.000 per orang per malam, sudah termasuk aktivitas, makan, dan pengalaman kebersamaan yang sulit ditemukan di tempat lain.

“Dalam sebulan, rata-rata ada 10 trip wisatawan yang datang, dari Eropa, Afrika, Asia, hingga Australia,”ungkap Zaka.

Ada satu hal unik di Saupon Adventure Village, meski sudah berkembang dan mulai dilirik wisatawan domestik dan wisatawan asing, mereka tetap mempertahankan hanya satu toilet untuk seluruh homestay.

“Kami tidak mau membangun terlalu banyak toilet. Air tanah di sini dekat dengan laut, kepiting, ikan disini kami konsumsi saat Balobe, jadi kami takut pencemaran,” lanjutnya.

Kesadaran ekologis seperti itu tumbuh alami dari kebiasaan warga menjaga lingkungan. Mereka paham bahwa keberlanjutan wisata bergantung pada kebersihan alam. Begitu pula dengan listrik yang masih mengandalkan genset karena belum ada jaringan listrik PLN di wilayah mereka. Tak ada signal komunikasi maupun radio membuat kampung ini seakan terisolir dari hiruk pikuk dunia.

Yopi Gaman yang kini sudah memandu turis dari 20 negara menceritakan bahwa sebagian besar tamu datang bukan karena brosur, tapi karena kisah.

“Mereka bilang ingin mendengar suara burung dan tidur di tengah hutan. Di sini tidak ada internet, tidak ada kebisingan. Hanya alam yang berbicara,” katanya.

Kebutuhan BBM untuk operasional perahu dan genset dibeli eceran di Waisai seharga Rp18.000 per liter dan Rp12.000 perliter untuk BBM campuran. Untuk perjalanan wisata laut, satu perahu dengan kapasitas sembilan orang bisa menghabiskan biaya Rp4 juta sekali jalan, termasuk bahan bakar dan upah operator. Walau mahal, semua dilakukan demi menjaga agar wisata tetap hidup.

Melihat komitmen warga yang hendak berubah, menjadikan alam sebagai daya tarik wisata bukan lagi tempat berburu, maka PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU VII Kasim menjadikan kampung Waifon menjadi kampung binaan.

GM Pertamina RU VII Kasim (kiri) menyerahkan bantuan CSR kepada pengelola Saupon Adventure Village/istimewa

General Manager PT KPI RU VII Kasim, Yodia Handhi Prambara, Dalam peresmian pembaruan citra Saupon Adventure Village pada Minggu, 14 September 2025 melihat semangat masyarakat Waifoi bukan sekadar upaya ekonomi, tapi simbol perubahan paradigma.

“Melihat langsung keindahan yang ada di Saupon Adventure Village membuat Kilang Kasim percaya dengan dukungan sinergi yang hebat tempat ini akan menjadi salah satu destinasi unggulan di wilayah Raja Ampat,” ucap Yodia optimis.

Yodia pada kesempatan tersebut juga menyerahkan bantuan tunai sebesar Rp200 juta menyebutkan bahwa keindahan Waifoi bukan sekadar potensi wisata, tapi simbol sinergi yang berhasil antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan.

Area Manager Communication, Relations, CSR & Compliance PT KPI RU VII Kasim, Ferdy Saputra, menambahkan bahwa komitmen ini akan terus berjalan melalui kerja sama periode 2024–2028 bersama BBKSDA Papua Barat.

“Program konservasi ini bukan hanya melindungi alam, tapi juga memberdayakan masyarakat. Ini sejalan dengan prinsip Environmental, Social, & Governance (ESG) yang kami jalankan,” pungkasnya.

Kampung Waifoi juga memiliki 10 kelompok pengelola wisata dan pengrajin lokal. Setiap kelompok beranggotakan 10 orang yang bertugas memanen sagu, menyiapkan makanan, atau memandu wisatawan di hutan. Semua dilakukan secara manual dan bergiliran, menjaga keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan.

Dukungan Pertamina tak hanya berupa infrastruktur, tapi juga edukasi. Anak-anak kampung kini belajar tentang konservasi sejak dini. Mereka tahu mengapa burung-burung tak boleh ditangkap, mengapa hutan harus dijaga, dan bagaimana mengelola limbah rumah tangga.

Bagi warga, perubahan itu terasa nyata. Mereka tak lagi hidup dari menjual hasil hutan, tapi dari menjaga dan mengelolanya. Penghasilan lebih stabil, lingkungan tetap lestari, dan anak-anak tumbuh dengan pengetahuan baru tentang harmoni antara manusia dan alam.

Saat senja turun di Waifoi, warna langit dari semula gelap diguyur hujan perlahan berubah jingga, pelangi nampak dipuncak gunung Nok, burung-burung kembali ke sarang, dan suara hutan berbisik lembut. Di homestay sederhana, warga duduk bersama, menikmati kopi sambil berbagi cerita tentang tamu yang datang dari jauh.

Tidak ada kemewahan di sini, tapi ada kedamaian yang tak ternilai. Sebuah keseimbangan antara alam dan manusia yang perlahan tumbuh dari kesadaran bersama.

“Kalau bukan kami yang jaga, siapa lagi?” ucap Yopi pelan, menatap hutan yang mulai gelap di kejauhan.

Tak setenar tempat wisata dunia lainnya di Raja Ampat seperti Wayag, Piaynemo, Kali Biru, telaga bintang, telaga love, kini, Saupon Adventure Village bukan hanya tempat wisata. Ia adalah simbol perubahan dari perburuan menjadi perlindungan, dari ketergantungan menjadi kemandirian. Bagi setiap orang yang berkunjung ke sana, mereka akan pulang membawa satu kesimpulan sederhana.

“Bahwa surga tidak selalu berada jauh di langit, bukan dihamparan biru laut, terkadang ia tersembunyi tenang di ujung dermaga melewati rawa, di sebuah kampung kecil bernama Waifoi, Raja Ampat,” ucap Fauzia salah satu wisatawan lokal.

Kini, Saupon Adventure Village dikenal luas di kalangan wisatawan pecinta alam. Tanpa promosi besar-besaran, kabar tentang “surga tersembunyi di ujung dermaga” menyebar dari satu wisawtawan ke wisatawan lainnya, dari mulut ke mulut orang yang pernah kesana hingga melalui pemberitaan yang masif. (olha)

Komentar

News Feed