Sinagi Papua: Dari Keraguan Jadi Pelopor Halal Produk Lokal di Tanah Papua

SORONG, PBD – Di sebuah sudut Kota Sorong yang tenang, aroma bumbu rempah khas Papua menyeruak dari dapur produksi kecil milik Yulince Ulim. Dibalik kesederhanaan tempat itu, lahirlah kisah tentang keberanian, pembelajaran, dan transformasi.

Yulince, seorang pelaku usaha non-Muslim, mengaku tidak pernah menyangka akan menjadi pelopor sertifikasi halal untuk produk kuliner lokal Papua. Awalnya, ia sempat ragu dan bingung apa benar usahanya bisa mendapat sertifikasi halal? Apakah standar-standar kehalalan itu bisa dipenuhi oleh UMKM seperti miliknya?

“Waktu awal, kami memang sempat bingung. Karena kami non-Muslim, jadi pikirnya ini bagaimana nanti? Namun setelah melihat sistemnya, ternyata tidak jauh beda dengan standar pengawasan seperti yang ada di BPOM,” ungkap Yulince saat ditemui di sela-sela bazar umkm yang digagas Bank Indonesia belum lama ini d kota Sorong.

Namun keraguan itu tak bertahan lama. Melalui pelatihan dan pendampingan dari berbagai pihak, Yulince mulai memahami bahwa sertifikasi halal bukanlah hambatan, melainkan pintu pembuka pasar yang lebih luas. Ia dan timnya mulai melakukan penyesuaian memisahkan dapur produksi dari tempat tinggal, mempekerjakan karyawan Muslim, dan mengganti bahan baku dengan produk lokal yang halal.

“Awalnya tidak tahu. Tapi ternyata, ketika sudah dicoba, prosesnya sejalan dengan apa yang selama ini kami kerjakan,” tuturnya.

Dengan semangat belajar yang tinggi, Sinagi Papua nama usahanya bertransformasi. Tak hanya mematuhi standar halal, tapi juga terus menggali potensi bahan baku lokal Papua. Daun nipah, petatas, umbi-umbian berwarna, hingga sagu semua diolah menjadi produk siap jual seperti bumbu asin nipah, keripik umbi tiga warna, kerupuk sagu, dan teh khas Moi Kamlowele.

“Kami jadi tahu bahwa banyak bahan lokal yang bernilai dan bisa digunakan dalam usaha. Asal tetap memperhatikan kehalalannya,” ujar Yulince, tersenyum.

Bagi Yulince, label halal bukan sekadar formalitas legal. Ia melihatnya sebagai bentuk kepercayaan yang harus diberikan kepada konsumen, terutama umat Muslim yang menjadi bagian besar dari pasar kuliner di Papua.

“Kalau tidak halal, otomatis pasar kami terbatas. Tapi begitu ada label halal, konsumen Muslim pun merasa aman dan yakin makanan kami layak dikonsumsi,” jelasnya.

Kini, Sinagi Papua tidak hanya menjual produk makanan lokal. Lebih dari itu, mereka menjual nilai: inovasi dalam tradisi, inklusivitas dalam keberagaman, dan keberanian untuk berubah. Usaha yang dahulu dimulai dengan keraguan, kini menjadi pionir dan teladan bagi pelaku UMKM lain di tanah Papua.

“Yang awalnya kami merasa susah, ternyata setelah dijalani semua menjadi lebih mudah. Asal mau mencoba, semua bisa dipelajari dan diterapkan,” tutup Yulince, dengan mata berbinar penuh harapan.

Dengan tetap mengangkat kearifan lokal dan membuka diri terhadap sistem yang lebih baik, Sinagi Papua telah membuktikan bahwa keberagaman bukanlah penghalang, melainkan kekuatan untuk tumbuh bersama.

Langkah Yulince mendapat dukungan penuh dari Bank Indonesia. Rayna Ditriano, Analis Fungsi Pelaksana Pengembangan UMKM, Keuangan Inklusif dan Syariah Bank Indonesia Perwakilan Papua Barat, menegaskan bahwa sertifikasi halal terbuka bagi semua pelaku usaha tanpa memandang agama.

“Sertifikasi halal adalah bagian dari peningkatan kualitas dan daya saing UMKM. Tidak ada kaitannya dengan agama pelaku usaha. Justru ini menjadi peluang untuk memperluas pasar dan membangun kepercayaan konsumen,” ujarnya.

Rayna menekankan bahwa Bank Indonesia aktif mendorong UMKM lokal untuk mendapatkan pendampingan dan akses terhadap pembiayaan, pelatihan, dan sertifikasi halal, sebagai bagian dari transformasi ekonomi berbasis kerakyatan di Papua Barat dan Papua Barat Daya. (Jharu/oke)

Komentar