“Sampah Bukan Warisan Kami”: Dewan Adat Moi Siap Terapkan Sasi Adat demi Kebersihan Kota Sorong

SORONG, PBD – Di tengah riuh geliat pembangunan dan modernisasi Kota Sorong, tumpukan sampah yang berserakan di berbagai sudut kota seolah menjadi ironi yang mencolok. Warga tampak terbiasa membuang sampah sembarangan, dari kantong plastik yang melayang di parit hingga limbah rumah tangga yang mencemari aliran sungai. Kebiasaan ini tak hanya mencederai keindahan kota, tapi juga membahayakan kesehatan dan kualitas hidup masyarakat.

Melihat kondisi ini, Dewan Adat Moi tak tinggal diam. Lembaga adat tertinggi masyarakat Moi suku pemilik hak ulayat Kota Sorong akhirnya angkat bicara dan mengambil langkah serius dengan wacana menerapkan Sasi Adat, aturan adat larangan yang selama ini dikenal ampuh dalam menjaga nilai-nilai hidup harmonis dengan alam.

Sasi Adat biasanya dikenal sebagai bentuk perlindungan terhadap alam laut, hutan, dan tanah adat agar tidak dieksploitasi sembarangan. Kini, konsep itu diperluas.

“Kalau masyarakat tidak peduli, kami akan berlakukan sasi adat dari Km 0 sampai Km 18,” tegas Yakobus Doo, Kepala Adat Moi Kota-Kabupaten Sorong.

Bagi masyarakat Papua, sasi bukan sekadar aturan adat. Ia adalah pantangan yang disakralkan. Melanggarnya bisa berujung pada sanksi sosial yang berat, termasuk denda adat hingga pengucilan komunitas. Dalam konteks kebersihan, sasi adat akan menjadi tameng untuk mencegah warga membuang sampah sembarangan. Satu tindakan kecil yang bisa berdampak besar pada wajah kota.

“Tambah Pintar, Tambah Kacau” imbuh Yakobus Doo.

Nada keprihatinan juga datang dari Bernad Bili, Ketua Dewan Adat Moi Wilayah Kota Sorong. Dalam keterangannya, ia mengajak seluruh warga tak peduli suku, umur, atau status untuk menjaga kebersihan sebagai bentuk tanggung jawab bersama.

“Kami prihatin. Sampah dibuang sembarangan, padahal tempat sampah sudah disiapkan. Ini soal kesadaran,” katanya dengan nada prihatin.

Bernad dan Yakobus, dua pemimpin adat Moi yang kini berdiri di garda depan gerakan kebersihan kota, menyayangkan perubahan perilaku masyarakat modern yang semakin mengabaikan nilai-nilai hidup bersih.

“Orang tua kami dulu tidak sekolah tinggi, tapi tahu jaga lingkungan. Sekarang tambah pintar, malah tambah bikin kacau,” ucap Yakobus.

Masalah sampah di Kota Sorong bukan sekadar persoalan estetika. Ini adalah soal kesehatan, lingkungan, bahkan identitas budaya. Sampah yang menumpuk bisa menyumbat saluran air, menyebabkan banjir, dan menciptakan sarang penyakit.

Karena itu, Dewan Adat Moi bersikap tegas. Tiga kali himbauan akan menjadi batas akhir. Setelah itu, sasi adat akan diberlakukan. Sanksi adat ini akan diberlakukan kepada siapa pun, tanpa pandang bulu. Bukan hanya warga asli Moi, tapi semua etnis yang hidup dan mencari nafkah di Kota Sorong.

“Kami tidak ingin menakut-nakuti. Tapi kalau tidak ada kesadaran, kami harus bertindak. Ini kota kita bersama,” tandas Bernad.

Langkah Dewan Adat Moi menunjukkan bahwa solusi terhadap persoalan lingkungan bisa datang dari akar budaya lokal. Di saat instrumen hukum formal kadang tak cukup ampuh menertibkan masyarakat, kearifan lokal seperti sasi bisa menjadi benteng terakhir yang menjangkau nurani warga.

Kini, bola ada di tangan masyarakat. Apakah mereka akan menanggapi himbauan ini dengan kesadaran dan perubahan perilaku? Atau tetap abai hingga sasi adat benar-benar diberlakukan?

Satu hal yang pasti, kota ini, sebagaimana dikatakan Dewan Adat, bukan milik satu orang. Kota Sorong adalah rumah bersama dan rumah, sejatinya, tak layak dipenuhi sampah. (Jharu)

Komentar