SORONG, PBD – Sorotan publik terhadap pengawasan peredaran kayu di Papua Barat Daya mendorong Polisi Kehutanan (Polhut) melakukan evaluasi internal dan memperkuat koordinasi lintas lembaga. Sejumlah pejabat dan staf Polhut memberikan penjelasan terbuka mengenai dinamika di lapangan, khususnya terkait gaya komunikasi serta mekanisme pengawasan terhadap aktivitas masyarakat adat dan pelaku usaha kayu.
Yulian Flasau, staf Polhut yang sebelumnya disebut dalam percakapan suara yang beredar, menegaskan bahwa dirinya tidak terlibat dalam praktik ilegal logging. Ia mengatakan bahwa penggunaan istilah “Gakum atau Polda” dalam komunikasi lapangan bukanlah bentuk ancaman maupun penyalahgunaan nama institusi, melainkan pola bahasa yang selama ini digunakan agar masyarakat lebih menghormati aturan pengangkutan kayu.
“Saya tidak terlibat dalam peredaran kayu ilegal. Sebaliknya kami ini turut mengawasi peredaran kayu. Bahasa yang saya gunakan di lapangan untuk memberi pemahaman bahwa membawa kayu tanpa dokumen perijinan bisa ditindak oleh Gakum atau Polda. Itu disampaikan untuk edukasi, bukan intimidasi,” jelasnya, Jumat (7/11/25).
Yulian juga menyampaikan bahwa pesan suara tersebut awalnya dikirim kepada keluarganya lebih dari satu bulan lalu, pada saat Polhut menghentikan peredaran hasil hutan karena adanya informasi meningkatnya aktivitas kayu ilegal. Ia tak menyangka percakapan pribadi itu disalah tafsirkan oleh oknum tertentu.
Sementara itu, Koordinator Polhut, Benyamin Susim, menyampaikan permohonan maaf kepada publik atas kegaduhan yang muncul. Ia menegaskan bahwa program pengawasan di Papua Barat Daya masih dalam tahap pembenahan, termasuk penguatan kerja sama dengan para mitra dan penyusunan mekanisme pengawasan yang lebih efektif.
“Provinsi ini masih baru dan kami sedang membenahi banyak hal. Kami akan menggelar rapat koordinasi persepsi agar pengawasan di lapangan berjalan sesuai standar,” ujarnya.
Disisi lain, Julian Kelly Kambu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan provinsi Papua Barat Daya, menjelaskan bahwa pihaknya telah memanggil staf terkait untuk meminta klarifikasi. Menurutnya, masalah utama bukan pada niat atau substansi tugas, melainkan gaya komunikasi di lapangan yang kerap ditafsirkan berbeda oleh masyarakat.
“Ini bukan soal keterlibatan dalam ilegal logging, tetapi gaya komunikasi yang membawa-bawa nama atasan atau institusi. Ini jadi pembelajaran bagi kami untuk meningkatkan kapasitas SDM agar lebih profesional,” tegasnya.
Ia juga menyoroti tantangan regulasi yang belum sepenuhnya menyesuaikan kondisi di Papua. Peredaran kayu adat yang berasal dari pohon tumbuh alami di tanah ulayat masyarakat seringkali berbenturan dengan aturan formal. Karena itu, Ia mendorong percepatan revisi Peraturan Menteri LHK nomor 8 tahun 2021 agar masyarakat adat memiliki ruang hukum yang jelas dalam menjual kayu dari wilayah mereka.
Kelly Kambu menambahkan bahwa koordinasi dengan kejaksaan, pengadilan, Gakum dan Kepolisian akan diperkuat untuk menutup celah penyalahgunaan kewenangan di lapangan, termasuk maraknya penggunaan kartu anggota oleh pihak-pihak yang bukan petugas resmi.
“Kami ingin semua aktivitas diatur jelas, tertib, dan tidak menyulitkan masyarakat pemilik hak ulayat. Kami juga berharap media membantu menyampaikan informasi secara berimbang agar publik dapat memahami persoalan dengan benar,” katanya.
Melalui evaluasi ini, Polhut dan pemerintah daerah berkomitmen meningkatkan transparansi, memperbaiki mekanisme komunikasi, serta memastikan pengawasan peredaran kayu di Papua Barat Daya berjalan sesuai regulasi dan tetap menghormati hak masyarakat adat. (Oke)








Komentar