Marga Mubalus Sesalkan Keputusan Adat Nyatakan Tanah dari Arteri-Saoka Milik Kalawaisa, Sebut Cacat Formil

SORONG, PBD – Kuasa hukum Marga Mubalus, Imanuel R. Balak angkat bicara terkait hasil keputusan sidang adat yang menetapkan bahwa tanah dari kawasan Arteri hingga Saoka yakni milik Marga Kalawaisa.

Ia menyesalkan proses dan hasil dari sidang adat tersebut menurutnya tidak memenuhi prinsip-prinsip hukum yang adil, baik dari sisi hukum adat maupun hukum nasional.

Hal ini disampaikan Kuasa hukum Marga Mubalus, Imanuel R. Balak dalam pernyataannya resminya kepada awak media, Kamis (7/8/25).

Ia menegaskan bahwa akar persoalan ini bermula sejak tahun 2024. Proses penyelesaian yang dilakukan melalui forum adat sejak saat itu dianggapnya tidak transparan dan tidak melibatkan semua pihak yang bersengketa, khususnya keluarga besar Mubalus.

“Dalam setiap sidang yang digelar, keluarga Mubalus tidak pernah dihadirkan. Ini jelas menyalahi prinsip hukum universal, yaitu audi et alteram partem, yang berarti hakim wajib mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak secara netral,” ujar Kuasa hukum Marga Mubalus, Imanuel R. Balak.

Ia menerangkan bahwa ketidakhadiran keluarga Mubalus dalam sidang bukan tanpa alasan. Pada waktu yang ditentukan, keluarga sedang memiliki urusan penting yang tidak dapat ditinggalkan. Informasi tersebut, kata Imanuel, sudah disampaikan kepada Dewan Adat.

“Mestinya Dewan Adat bersikap bijaksana dengan mengatur ulang waktu sidang dan mengupayakan kehadiran semua pihak. Tetapi nyatanya tidak dilakukan,” jelasnya.

Disebutkannya bahwa, ketimpangan ini menimbulkan reaksi keras dari pihak Marga Mubalus. Ketika Imanuel turun langsung ke Sorong pada Desember 2024, terjadi insiden pengrusakan rumah keluarga Mubalus di Saoka yang kemudian dilaporkan secara hukum dan ditindak oleh pihak berwenang. Protes terhadap keputusan sidang adat telah dilakukan dalam mediasi di Polresta Sorong Kota. Dalam pertemuan itu, Imanuel menyoroti berbagai kejanggalan dalam proses dan isi berita acara yang dikeluarkan.

“Dalam berita acara tertulis bahwa telah dilakukan sidang adat terbuka dan tertutup. Faktanya, tidak pernah ada sidang adat tertutup. Ini sudah bentuk pelanggaran formil,” sesalnya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa Dewan Adat bahkan tidak melibatkan Kepala Suku Besar Moi dalam proses sidang. Menurutnya, keterlibatan kepala suku besar merupakan syarat penting untuk penetapan majelis hakim adat dan keabsahan proses persidangan.

“Saya sudah temui langsung Bapak Kepala Suku Besar dan beliau menyatakan tidak pernah memberikan rekomendasi apa pun terkait pembentukan majelis adat dalam perkara ini,” ungkapnya.

Dipaparkannya bahwa, Kepala Suku Besar Moi bahkan sempat mengajukan surat penolakan terhadap hasil sidang adat, menegaskan bahwa keputusan yang dihasilkan cacat secara formil dan prosedural.

Sebagai tindak lanjut dari keberatan ini, diakui Imanuel, sempat disepakati bahwa akan dilakukan sidang adat ulang pada awal tahun 2025, dengan pendekatan yang lebih adil dan inklusif. Dalam pertemuan mediasi, Dewan Adat berjanji akan mendatangi setiap keluarga untuk menyepakati waktu sidang yang tepat, bukan hanya mengirimkan undangan sepihak. Namun, menurut Imanuel, komitmen tersebut tidak dilaksanakan oleh Dewan Adat.

“Dewan Adat hanya mendatangi keluarga Kalawaisa, namun tidak pernah menghubungi ataupun datang ke keluarga Mubalus. Padahal keduanya adalah pihak yang bersengketa,” imbuhnya.

Pada kesempatan itu, dirinya menyayangkan sikap Dewan Adat yang dianggap tidak mampu menjalankan fungsinya secara adil dan netral sebagai majelis hakim adat. Hal ini dibeberkannya telah mencederai prinsip keadilan dan memperburuk persoalan di tengah masyarakat Moi.

“Kami menyimpulkan bahwa keputusan yang diambil adalah cacat formil. Dengan demikian, keputusan tersebut tidak bisa dijadikan rujukan hukum dan harus dibatalkan,” ucapnya.

Sementara itu, Keluarga Marga Mubalus lainnya, Mateus Mubalus menjelaskan bahwa Marga Mubalus memiliki sejarah panjang dan jalur perjalanan yang jelas dari wilayah pegunungan hingga pesisir, yang menunjukkan kepemilikan adat turun temurun atas wilayah Arteri hingga Saoka.

“Perjalanan kami keluarga Mubalus kami paham betul. Kami tahu betul batas-batas wilayah adat kami yang diwariskan dari nenek moyang, sedangkan Marga Kalawaisa batas wilayah saja mereka tidak mengetahui,” kata Mateus Mubalus.

Ia membantah klaim dari pihak Marga Kalawaisa yang menyebut bahwa keluarga Mubalus tidak memiliki hak atas tanah dari Arteri hingga Saoka. Menurut mereka, justru keluarga Kalawaisa menumpang tinggal di Saoka karena diselamatkan oleh orang tua mereka ketika terjadi konflik di masa lalu.

“Keluarga Kalawaisa tinggal di Saoka karena diselamatkan oleh orang tua kami, setelah rumah mereka dibakar saat itu, mereka datang pagi-pagi menangis ke rumah kami, minta perlindungan dan kami bantu itu,” bebernya.

Diungkapkanya bahwa, dirinya menuding para petinggi adat dalam hal ini hakim adat telah menggunakan kewenangan lembaga adat untuk kepentingan pribadi dan memutarbalikkan sejarah.

“Kami yang antar mereka (Marga Kalawaisa) ke Saoka, bukan orang lain. Sehingga kami mengetahui sejarah panjang atas tanah kami dari Arteri hingga Saoka,” ungkapnya.

Ia mempertanyakan kapasitas Dewan Adat untuk menyimpulkan sejarah dan hak tanah tanpa mendengar langsung keterangan dari pihak yang bersangkutan.

“Kami dibilang tidak punya hak atas tanah ini (tanah dari Arteri hingga Saoka), padahal beliau sendiri tidak tahu sejarah lengkap keluarganya. Bagaimana bisa menentukan sejarah orang lain?” tanyanya.

Usai memberikan keterangan kepada awak media, Keluarga Marga Mubalus bahkan menunjukkan secara langsung plang tanah adat milik Marga Mubalus.

Dalam plang tersebut bahkan bertuliskan ‘Tanah Adat Milik Marga Karet Mubalus Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Sorong No 25/Pdt.G/ 2010/PN Sorong tanggal 14 Juni 2010’.

Persoalan ini kini masih bergulir dan pihak keluarga Mubalus bersiap menempuh jalur hukum lebih lanjut apabila sidang adat ulang tidak dilakukan secara adil dan transparan sesuai kesepakatan awal. (Jharu)

Komentar