WAISAI, PBD – Embun masih menempel di dedaunan kala matahari mulai menyingkap cakrawala Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat. Jalan Trans Waisai – Sapokren masih lengang. Hanya terdengar deru satu mobil pickup tua berwarna hitam yang perlahan melintas di jalan berdebu.
Dibalik kemudinya, Yesaya Marino, 29 tahun, menggenggam erat setir, wajahnya teduh tapi matanya tajam menatap ke depan.
Dibelakang kemudinya, terlihat sejumlah orang duduk saling berhadapan, ada yang membawa hasil bumi maupun memangku anaknya.
“Setiap pagi, sebelum matahari naik, saya sudah siap antar penumpang. Kadang bawa orang, kadang barang. Jalan ke Sapokren itu jauh, tapi sudah jadi bagian hidup saya,” ujarnya sambil tersenyum saat ditemui mengisi bensin di SPBU Napirboy, Sabtu (4/10/25) lalu.
Sudah sepuluh tahun lamanya Yesaya menjadi sopir angkutan lokal yang melayani rute Waisai – Sapokren. Jalur yang ia sebut “jalur kehidupan” itu bukan hanya lintasan biasa, tapi napas penghubung antar kampung yang berjauhan. Ia tahu setiap tikungan dan setiap lubang di jalan itu, seperti mengenal garis tangan sendiri.
Namun dibalik rutinitasnya, ada cerita panjang tentang perjuangan menghadapi kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Dulu, mendapatkan bensin di kampungnya bukan perkara mudah.
“Kalau dulu mau isi bensin, kami beli dari pengecer. Satu botol kecil saja bisa Rp15.000 sampai Rp25.000,” kenang Yesaya.
Ia tertawa kecil, tapi matanya menyiratkan kelelahan masa lalu. Harga mahal itu kerap memangkas pendapatannya. Dalam sehari, uang hasil mengantar penumpang sering habis hanya untuk membeli bahan bakar.
“Kadang bawa 10 orang penumpang, tapi untungnya cuma cukup buat beli bensin lagi. Tapi mau bagaimana, penumpang tetap harus diantar. Orang kampung butuh ke kota, anak sekolah, mama-mama mau jual hasil kebun,” ujarnya.
Kini, suasana itu berubah sejak SPBU BBM Satu Harga milik PT Lima Putra beroperasi di Kampung Napirboy, Kelurahan Saonek, Distrik Waigeo Selatan, Waisai. Jaraknya hanya sekitar 7,4 kilometer dari Pelabuhan Falaya Waisai, tapi dampaknya terasa hingga ke Sapokren kampung di ujung jalur yang dulu disebut warga sebagai “lembah sunyi”.
“Sekarang beli bensin lebih mudah dan murah,” kata Yesaya sambil tersenyum.
“Setiap hari saya bisa antar 14 penumpang bolak-balik Waisai Sapokren. Tarifnya Rp20.000 per orang. Pendapatan bisa sampai sejuta per hari. Itu sudah cukup buat hidup dan bantu keluarga,” optimis Yesaya.
Ditengah jalan yang masih belum sepenuhnya mulus, suara mesin pickup milik Yesaya bagai lagu perjuangan. Ia mengantar guru yang hendak ke sekolah, petani yang membawa hasil kebun, hingga anak-anak yang pulang ke kampung.
“Kalau mobil ini rusak, saya bingung. Tapi sejak BBM murah, saya bisa sisihkan sedikit uang untuk rawat mesin mobil. Jadi lebih tenang,” lanjutnya.
Bagi Yesaya, BBM Satu Harga bukan sekadar bahan bakar, tapi juga simbol keadilan. Ia tahu harga bensin di kota besar jauh lebih murah, sementara di kampungnya dulu, warga harus rela membayar dua hingga tiga kali lipat. Kini, harga di SPBU resmi sama dengan di kota lain Rp10.000 per liter untuk Pertalite dan Rp6.800 untuk Solar.
Dibawah terik matahari Raja Ampat, Yesaya menyalakan mesin dan melanjutkan perjalanan ke Sapokren. Dibelakangnya, duduk Mama Maria, seorang pedagang yang setia menumpang mobilnya setiap kali pergi ke pasar Waisai.
Mama Maria, 47 tahun, mengenakan kaos merah dan tas selempang berwarna hitam dibahunya terlihat tersenyum lebar saat melihat SPBU tak seramai biasanya. Disampingnya tersimpan hasil kebun berupa tandan pisang dan beberapa sayur segar yang akan dibawa ke pasar untuk dijual. Dulu, setiap kali Ia ingin menjual hasil panen ke Waisai, Ia harus menyiapkan ongkos besar.
“Dulu kalau mau ke kota, bayar ojek sekali jalan Rp50.000. Kalau pulang, tambah lagi. Kadang saya pikir, lebih baik tidak jualan, karena habis diongkos,” ucapnya.
Tapi sejak SPBU BBM Satu Harga hadir, tarif angkutan pun ikut menyesuaikan, karena beli langsung disumbernya bukan lagi kepada pengecer.
“Sekarang naik ojek atau mobil cuma Rp20.000 saja. Uang yang sisa bisa buat beli beras atau simpan untuk anak sekolah,” kata Mama Maria dengan mata berbinar.
Perubahan sederhana itu berdampak besar bagi ekonomi keluarga. Setiap minggu, Ia bisa bolak-balik ke pasar tanpa khawatir biaya.
“Kalau dagangan laku, saya bisa bawa pulang Rp300.000. Sekarang untungnya lebih terasa karena ongkos sudah murah,” ujarnya.
Selain pedagang seperti Mama Maria, nelayan di pesisir Sapokren juga merasakan manfaat besar. Dulu, mereka harus berburu bensin ke pengecer yang tak selalu tersedia. Sekali membeli, mereka mengeluarkan biaya besar untuk beberapa liter bensin yang belum tentu bersih.
Ditepi pantai permadani pasir nan putih Sapokren, duduk sejumlah nelayan memperbaiki jaring. Salah satunya, Lukas, pria berusia 25 tahun, nelayan remaja ini mengaku dulu sering membatalkan niat melaut karena bahan bakar sulit didapat.
“Kalau tidak ada bensin, kami tidak bisa ke laut. Pernah sampai tiga hari tidak melaut karena stok habis,” katanya.
Sekarang, dengan adanya sistem surat rekomendasi berbasis QR code, nelayan seperti Lukas bisa membeli BBM resmi di SPBU. Mereka datang membawa jerigen, dengan surat dari dinas perikanan yang diverifikasi secara digital.
“Dulu takut beli banyak, takut dituduh jual eceran. Sekarang semuanya tercatat dan aman. Kami beli sesuai kebutuhan melaut,” jelas Lukas sambil tersenyum.
Ia menambahkan, hasil tangkapannya kini meningkat karena bisa melaut lebih sering dan lebih jauh.
“Dulu hanya bisa ke perairan dekat, karena takut bensin habis. Sekarang bisa sampai jauh, ikan lebih banyak. Hidup juga jadi lebih ringan.” cerita Lukas.
SPBU BBM Satu Harga di Napirboy tampak sederhana. Sebuah bangunan putih dengan atap merah, berdiri di tepi jalan, dikelilingi pepohonan dan udara lembab khas pesisir. Di sana, Muhammad Farhan, operator SPBU, sibuk melayani warga.
“Kami senang bisa bantu sopir, nelayan, dan mama-mama. Dulu mereka antri beli eceran mahal, sekarang bisa isi langsung,” ujar Farhan.
Ia bercerita, setiap hari SPBU melayani puluhan kendaraan dan nelayan. Kadang antrean panjang terjadi pagi-pagi. Tapi tak ada keluhan, hanya senyum lega warga yang akhirnya bisa membeli BBM dengan harga normal.
“Kalau stok hampir habis, kami segera koordinasi dengan Pertamina. Jalur distribusi panjang, dari kapal ke mobil tangki. Kadang cuaca buruk bisa hambat pengiriman. Tapi kami pastikan BBM tetap sampai,” kata Farhan.
Sales Branch Manager Papua Barat 1 Pertamina Patra Niaga, Menurut Irsan Darsani, mengatakan distribusi BBM di wilayah 3T seperti Raja Ampat memang penuh tantangan. Namun, untuk memastikan pasokan tetap lancar, Pertamina menggunakan berbagai moda transportasi untuk mencapai pusat-pusat pelayanan, baik menggunakan kapal, mobil tangki, bahkan drum kecil yang diangkut secara manual.
“Bagi kami, yang penting BBM sampai ke tangan masyarakat dengan aman,” tegas Irsan.
Ia menambahkan, program BBM Satu Harga bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga soal keadilan sosial termasuk di pelosok Raja Ampat. Menurutnya, Raja Ampat memiliki tantangan unik, sinyal internet yang sering naik turun menyebabkan pemberlakuan QR code BBM subsidi tak bisa dilakukan layaknya di Kota besar.
“Di kota besar, masyarakat mudah isi bensin kapan saja. Tapi bagi daerah terpencil, kadang transaksi digital terganggu. Tapi petugas tetap catat manual, nanti baru update data kalau sinyal sudah kembali,” ujar Irsan.
Mengantisipasi penyalahgunaan pembelian BBM subsidi menggunakan jerigen oleh warga, Irsan mengatakan telah bekerjasama dengan Dinas terkait untuk surat rekomendasi digital. Semua data terekam secara transparan termasuk berapa kuota maksimal nelayan tersebut bisa membeli di SPBU.
Ditambahkan Area Manager Communication, Relation & CSR Pertamina Patra Niaga Papua Maluku, Ispiani, keberhasilan BBM Satu Harga bukan diukur dari jumlah SPBU semata, tapi dari perubahan wajah masyarakat.
“Melihat sopir, nelayan, dan mama-mama tersenyum karena bisa beli bensin murah, itu kebahagiaan yang tak bisa dihitung,” katanya.
Kini, di Waisai dan Sapokren, roda ekonomi kecil mulai berputar lebih cepat. Sopir seperti Yesaya bisa terus menarik laju kendaraan, pedagang seperti Mama Maria bisa lebih sering ke pasar, dan nelayan seperti Lukas bisa menambah hasil tangkapan.
SPBU juga membuka lapangan kerja baru, operator, petugas kebersihan, keamanan, hingga tenaga distribusi. Bagi warga lokal, ini kesempatan untuk bekerja tanpa harus merantau.
Program BBM Satu Harga di Papua Barat kini terus diperluas. Tahun 2024 saja, sudah ada empat titik baru beroperasi, termasuk di Waisai. Pertamina berencana menambah titik di wilayah pesisir dan kepulauan kecil agar akses energi merata.
“Bahan bakar itu seperti darah bagi ekonomi. Kalau distribusinya lancar, kehidupan di kampung juga bergerak,” ujar Ispiani.
Namun, ia mengingatkan, perjuangan belum selesai. Cuaca ekstrem, medan sulit, dan tantangan logistik masih menjadi bagian dari perjalanan panjang menuju pemerataan energi di Tanah Papua.
BBM Satu Harga telah menyalakan kembali harapan dari lembah sunyi Sapokren, dari jalan berdebu hingga pantai biru, dari tangan-tangan kecil yang bekerja tanpa henti untuk bertahan hidup di ujung negeri, karena di Raja Ampat, setiap liter bensin bukan sekadar bahan bakar, tapi cahaya kecil yang menyalakan harapan besar. (Olha Irianti)
Komentar