Anggota DPRD Ini Tegas Tolak Vaksin dan Sebut Stop Pemaksaan

SORONG,- Kartu vaksin COVID-19 kini menjadi kebutuhan dan kewajiban masyarakat untuk mengakses ruang publik seperti Supermarket, Bandara, Bank dan Sekolah. Hal ini membuat sejumlah Negara telah menerapkan kartu vaksin COVID-19 bagi warganya untuk menjadi syarat utama agar bisa memasuki ruang publik, termasuk Indonesia dengan pemberlakuan aplikasi peduli lindungi.

Hal tersebut membuat salah satu anggota DPRD Kota Sorong Aguste CR Sagrim Angkat bicara saat dijumpai di Kota Sorong, Papua Barat, Rabu (19/1/22). Dirinya mengatakan sangat menolak untuk mengikuti vaksinasi, pasalnya terdapat alasan tersendiri yang membuatnya menolak untuk di vaksin.

____ ____ ____ ____

“Saya menolak vaksin bukan berarti tidak mendukung program pemerintah, tubuh dan diri kita sendiri, kita yang lebih tahu. Kalau vaksin cuman sebagai kekebalan tubuh, saya pikir bisa dengan cara lain seperti menjaga pola makan, olahraga dan lainnya jadi tidak perlu vaksin juga,” ungkapnya.

Gusti mengatakan ini merupakan pemerintahan daerah yang mana dipimpin oleh seorang Wali Kota. Terdapat dua lembaga besar yakni eksekutif dan legislatif. Dirinya mengatakan, apapun yang ingin dilakukan kepada masyarakat kota harus berdasarkan surat keputusan Wali Kota. Pasalnya Wali Kota yang memiliki kuasa penuh terhadap suatu kota.

Ia menilai bahwa kebijakan wajib vaksin dan peduli lindungi seharusnya menjadi wewenang Kota, harus berdasarkan dan harus seijin oleh Wali Kota, Kami bertanggung jawab atas hidup masyarakat Kota. Kami bertanggung jawab. kalau ada apa-apa, Wali Kota dan DPRD yang tanggung jawab.

Sagrim mengatakan situasi yang terjadi di Kota Sorong saat ini bagi dirinya seperti orang gila, Polisi beralih fungsi jadi tukang vaksin dan memaksa vaksin untuk kejar target presentase.

“Situasi di Kota Sorong ini, udah gila nih, cukup orang dipusat gila jangan turun lagi ke daerah deh. Virus tidak mematikan, malah yang lebih mematikan adalah penyakit penyakit lain. Sekali lagi sudah gila ini, masuk supermarket harus vaksin, sekolah vaksin juga. Saya tekankan lagi sudah gila ini,” tegas Sagrim kesal.

Ia mengatakan hingga detik ini, kebanyakan orang menganggap virus COVID-19 telah sirna namun hanya dimanfaatkan sebagai sebuah proyek oleh pemangku kebijakan.

“Sekarang sudah mulai masuk di sekolah, apalagi informasi usia 6 hingga 11 tahun untuk ikut vaksin, inilah yang lebih fatal karena anak-anak yang mau terima raport harus vaksin dulu. Mau sekolah tatap muka harus vaksin dulu,” tambahnya.

Dikatakan Sagrim jika vaksinasi sebagai persyaratan utama, maka seharusnya ada surat yang mengatakan keputusan kementerian pendidikan harus diperlihatkan, agar jelas keputusan yang dikeluarkan oleh kementerian, karena pendidikan berada dibawa kewenangan kementerian pendidikan dan bukan dibawah daerah. Jika terjadi seuatu maka kementerian yang bertanggung jawab.

Lebih lanjut Ia mengatakan apa guna memiliki hak asasi dan UU kesehatan, karena setiap warga negara tidak lagi berhak dalam menentukan kesehatan terhadap dirinya sendiri.

Sagrim sangat menyayangkan orang-orang pemangku kebijakan di Kota Sorong, yang mana melakukan tindakan vaksinasi secara paksaan. Sehingga menurutnya hal tersebut telah melanggar hak asasi manusia itu sendiri.

Ia mengatakan jika ingin mengikuti vaksin silahkan jangan dipaksakan seperti itu. Alangkah baiknya diberikan kebebasan untuk memilih. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan kementerian bahwasanya vaksin tidak menjadi persyaratan utama.

“Sekolah sekarang wajib vaksin, tahu tidak anak-anak ini vaksin itu. Kemudian mereka harus tanda tangan surat pernyataan bahwa pemerintah tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu. Lu pikir ini binatang? Binatang mati saja kami sedih kami menghormati binatang loh, jangankan binatang pohon pun mati Kita sedih. Ini sesama manusia dibuat kayak begitu, ini gila sekali, lagi lagi saya kasih tahu ini gila,” sambungnya.

Ia pun berharap agar pemangku kebijakan jangan hanya mengejar presentasi capaian vaksin dan mengabaikan nyawa manusia, mengabaikan hak asasi manusia.

“Manusia yang tidak menghormati manusia lain tidak bisa disebut manusia. Harus menjunjung tinggi HAM. Untuk siapa keuntungan ini, siapa yang bermain dibalik bisnis ini, ayolah kita boleh laksanakan tugas, tapi jangan maksa fleksibel saja,” sesalnya. (Fatrab)

Komentar