Nelayanan Kampung Mutus Mengeluhkan Mahalnya Harga BBM dan Murahnya Harga Ikan

SORONG, – Kementerian PPN/Bappenas bekerjasama dengan Indonesia Climate Change Fund Trust (ICCTF) melalui proyek COREMAP-CTI dengan dana hibah Word Bank melakukan pemberdayaan, pelestarian dan edukasi kepada masyarakat di Kampung Mutus, Raja Ampat terkait penggunaan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan, rehabilitasi terumbu karang, penanaman mangrove dan padang lamun.

Pengeboman ikan menggunakan bom ikan dan potassium pernah terjadi 20 tahun silam, masa, dimana masyarakat belum mengetahui dampak buruk dari penangkapan ikan dengan cara merusak ekosistem terumbu karang.

Yoram Sauyai, salah satu anggota kelompok Mujur Kampung Mutus mengungkapkan para nelayan sangat bersyukur dengan adanya program COREMAP-CTI karena para nelayan saat ini sudah menyadari bahaya bom ikan hingga potassium, disebabkan adanya edukasi yang dilakukan COREMAP Pertama sampai COREMAP-CTI yang berkhir 31 Maret 2021.

“kini kami sudah menyadari bahayanya bom ikan hingga pottasium, dan sejak itu kami gencar menggunakan alat pancing yang lebih ramah lingkungan. Pengeboman ikan sudah terjadi sejak zaman orang tua, tetapi sejak ICCTF masuk secara bertahap di Kampung Mutus ini nelayan sudah mulai berubah “ terangnya.

“Setelah 2007-2008, kami ada perubahan. Kami mengenal apa yang disebut karang rusak, apa yang disebut sebagai pengeboman, pottasium. Kami sedikit demi sedikit masa-masa yang kami hidup selaku perusak karang ada perubahan. Kami sudah dibekali dari tim COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) 1 dan 2. Sampai di COREMAP 2 membentuk kelompok kerja. Mereka juga bentuk lembaga yang saat itu LPTKS,”jelas laki-laki yang biasa dipanggil Yoram ini, Sabtu, 26/03/22.

Perjalanan program COREMAP 1 dan 2 selesai, masyarakat di Kampung Mutus tetap melaksanakan aktivitas seperti biasa menjadi seorang nelayan, akan tetapi terdapat perubahan dengan metode yang digunakan.

Saat ini para nelayanan di Kampung Mutus, Raja Ampat mengalami kesulitan menjual hasil tangkapan ikan, disebabkan tidak adanya pengepul yang datang mengambil ikan hasil tangkapan mereka di kampung.

“kami jual ikan perkilo, untuk harganya berbeda-beda, tergantung jenis ikannya. Kalau saya tidak salah di Pak Ahong (pengumpul dari Hong Kong) yang kualitas super Rp 280.000 per kilo itu ikan hidup. ikan tongseng (kerapu tongseng sebutan ikan jenis kerapu yang disematkan oleh pengepul asal Hong Kong). Kalau perekor Rp 305.000, itu ada yang lebih dari sekilo. Kalau yang beku, ikan beku yang mati itu harganya tidak menetap,” terangnya.

Jenis ikan yang biasa diambil oleh pengepul Hong Kong di antaranya Kerapu Tongseng, Kerapu Famingseng, dan Kerapu Taiseng (nama ikan dengan sebutan Cina). Sejak pandemi pengepul tersebut sudah tidak lagi datang mengambil hasil tangkapan nelayan.
“kondisi pandemi ini, sudah 3 bulan para pengumpul tidak datang mengambil ikan. Agar ekonomi masyarakat tetap berjalan, para nelayan akhirnya menyiasati dengan menjual ikan ke pengepul liar yang biasanya ada di kampung sebelah,” terangnya.

Pada kesempatan yang sama,Markus Dimara, Kepala Adat Kampung Mutus mengungkapkan selain kendala pandemi COVID-19, kendala lainnya yang ditemui para nelayan adalah terbatasnya alat pembuat es untuk pembekuan ikan mati agar bertahan lebih lama. Ia menjelaskan, meskipun Kampung Mutus saat ini sudah memiliki alat pembuat es batu, tetapi tidak bisa mencukupi kebutuhan masyarakat kampungnya.

Hal lain yang menjadi masalah adalah terbatasnya akses listrik di Kampung Mutus. Warga di Kampung Mutus menggunakan listrik dari panel surya untuk menerangi rumah dan kebutuhan lainnya. Meski demikian, durasi listrik dari panel surya terbatas sehingga alat pembuat es tidak bisa maksimal.

Untuk mengatasi masalah tersebut, program COREMAP-CTI memberikan cold storage (freezer) akan tetapi masih belum bisa memenuhi kebutuhan es masyarakat.

Selain masalah tersebut, masyarakat juga mengeluhkan tingginya harga BBM yang biasa mereka gunakan saat melaut. Saat ini mereka membeli BMM diharga Rp. 14.000.

“Satu hari kita 20 liter, satu tangki. Jadi 20-30 liter itu untuk satu hari,” ungkap.

Penjualan ikan yang semakin menurun dan harga yang murah membuat para nelayan  kebingungan. Bahkan hasil ikan yang bisa mereka jual tidak bisa menutup biaya saat mereka melaut.

“ikan campuran harganya Rp 10.000-an per kilo. Sedangkan harga BBM Rp 14.000,” jelasnya.

Dengan kondisi ini, para nelayan lebih banyak rugi daripada untung. Ditambah lagi para nelayan tidak memiliki opsi lain untuk memasarkan hasil tangkapannya. Kalaupun ada pengepul yang ingin mengambil ikan campuran, harganya tidak akan lebih tinggi dari Rp 10.000 atau Rp 11.000. (541)

Komentar