SORONG, PBD — Aksi pembakaran mahkota Cenderawasih oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua menuai reaksi keras dari masyarakat adat di Tanah Papua.
Meskipun kegiatan tersebut dimaksudkan untuk melindungi Burung Cenderawasih dan memutus rantai perdagangan ilegal satwa dilindungi, namun langkah itu dianggap melukai nilai-nilai budaya, adat dan spiritual orang asli Papua.
Ketua Ikatan Keluarga Besar Suu (IKBS) se-Sorong Raya, Christopel Suu, menilai bahwa tindakan pembakaran mahkota yang dianggap sebagai barang hasil sitaan itu telah dilakukan tanpa mempertimbangkan makna sakral mahkota Cenderawasih dalam kehidupan masyarakat adat Papua.
“Kami tahu niat BKSDA Papua itu baik, untuk melindungi Burung Surga agar tidak punah. Tapi membakar mahkota Cenderawasih adalah keputusan yang salah. Mahkota itu bukan benda biasa, melainkan simbol kehormatan dan identitas orang Papua,” tegas Ketua IKBS se-Sorong Raya dalam pernyataannya di Sorong.
Menurutnya, mahkota Cenderawasih memiliki nilai yang jauh melampaui sekadar aksesori hiasan kepala. Benda ini merupakan warisan turun-temurun yang dijaga secara sakral dan memiliki kedudukan tinggi dalam adat dan budaya Papua.
Mahkota Cenderawasih bagi masyarakat Papua memiliki arti dan makna yang sangat dalam, di antaranya:
- Simbol kehormatan yang melambangkan kebesaran, kekuatan spiritual, dan kesetiaan terhadap tradisi adat serta budaya.
- Identitas budaya yaitu menjadi ciri khas yang membedakan masyarakat Papua dari suku-suku lain di Indonesia bahkan dunia.
- Makna spiritual yang melambangkan perempuan Papua yang anggun, berharga, dan penuh nilai adat istiadat.
- Warisan leluhur yaitu dikenakan hanya oleh kepala suku dan diwariskan turun-temurun sebagai tanda martabat dan kepemimpinan.
- Kekuatan simbolik yang menggambarkan Burung Surga yang indah, keagungan alam Papua, dan kedudukan sosial dalam masyarakat adat.
Mahkota Cenderawasih juga digunakan dalam berbagai upacara adat sebagai simbol penyambutan tamu kehormatan, tanda kemakmuran, serta lambang persatuan dan kehormatan masyarakat Papua.
“Mahkota itu punya roh dan makna spiritual bagi kami. Saat dibakar, itu seperti membakar harga diri dan simbol kehormatan orang Papua,” lanjut Ketua IKBS.
Ia menambahkan bahwa seharusnya BKSDA Papua tidak bertindak sepihak tanpa berkonsultasi dengan lembaga adat seperti Dewan Adat Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), DPR Otsus, kepala suku, serta tokoh-tokoh masyarakat adat lainnya.
“Kalau saja sebelum melakukan kegiatan mereka berdiskusi dengan lembaga-lembaga adat, tentu tidak akan terjadi kesalahan seperti ini. Karena semua hal yang berkaitan dengan budaya dan adat istiadat harus melalui pertimbangan dan izin dari pemangku adat,” katanya.
Terkait kehadiran TNI/Polri dalam kegiatan tersebut, Ketua IKBS menjelaskan bahwa kemungkinan besar aparat hanya hadir sebagai tamu undangan, mengikuti susunan acara resmi BKSDA Papua dan tidak memiliki keterlibatan langsung dalam pengambilan keputusan.
Sebagai bentuk tanggung jawab moral dan penghormatan terhadap masyarakat adat, Ketua IKBS se-Sorong Raya meminta BKSDA Papua untuk menyampaikan permohonan maaf secara terbuka melalui media. Ia juga berharap kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi semua instansi agar lebih sensitif terhadap adat dan budaya Papua.
“Kami berharap tidak ada lagi tindakan seperti ini di kemudian hari. Semua pihak yang ingin melakukan kegiatan di Tanah Papua harus menghormati adat istiadat dan berkoordinasi dengan lembaga adat. Jangan sampai niat baik justru berubah menjadi tindakan yang melukai masyarakat,” pungkasnya. (Oke)








Komentar